Menakar Kontruksi Proposional Terbuka dan Tertutup serta Masa Depan Pemilu 2024

  • Bagikan

Oleh: Mulyadi Nasution S.Pd.I

Pemilihan umum adalah hal yang sangat penting dalam upaya menjaga kedaulatan rakyat dan demokrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemilu yang baik harus memperhatikan sistem dan konsekuensi dari sistem yang digunakan.

Indonesia merupakan salah satu Negara yang menerapkan sistem pemilu dengan sistem proporsional. Sistem proporsional yang digunakan Indonesia sejak tahun 1955 memiliki dua bentuk, yaitu yakni sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka.

Saat ini Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka setelah sebelumnya pada pemilu 1971 sampai dengan pemilu 1998.

Kedua sistem ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat,sebagian ada yang pro, sebagian ada yang kontra. Meskipun begitu masing-masing dari sistem proporsional ini memilki kekurangan dan kelebihan tersendiri.

Melihat situasi Indonesia yang majemuk dengan kompleksifitas yang cukup tinggi dalam kehidupan politik masyarakat, maka sudah barang tentu pemilu yang diselenggarakan oleh panitia penyelenggara tidaklah mudah.

Dalam perkembangannya, sistem proporsional tertutup (closed-list PR ) dengan mekanisme pemilihan oleh rakyat hanya pada partai politik peserta pemilu Cara kerja sistem tersebut adalah pemilih memberikan suaranya hanya dengan mencoblos gambar partainya, suara partai untuk kesempatan pertama akan diberikan kepada calon nomor urut teratas atau melalui kebijakan internal elit partai tersebut.

Berikunya Sistem proporsional terbuka (open-list PR) dengan cara kerja sistem ini, pemilih memilih langsung wakil wakil legislatifnya yang telah ditawarkan partai politik melalui daftar calon legislatif dengan nomor urut tertentu.

Sistem proporsional terbuka saat ini diatur dalam dasar hukum pemilu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, pada pasal 168 Ayat (2) yang berbunyi: “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.

Pada pemilu 2009 sistem ini diharapkan menjadi sistem yang adil, agar caleg terpilih lebih representative dan legitimasinya jauh lebih kuat karena sudah selayaknya yang berhak mendapat kursi adalah caleg yang memperoleh dukungan rakyat yang paling banyak.

Namun setelah berjalannya sistem ini dari tahun 2009 sampai 2019, tidak lepas dari berbagai problem dan kritikan. Biaya kampanye yang menjadi mahal, integritas calon dan pemilih dipertaruhkan dengan maraknya perilaku money politic, polarisasi politik, politik identitas, dan serta biaya yang dikeluarkan oleh Negara terhitung cukup banyak.

Dengan sistem ini juga, hanya memungkin atau lebih membuka ruang terpilih yang lebih besar untuk calon yang memiliki modal besar dan bisa dipandang lebih kompetitif dalam pemilu legislatif meski bukan kader partai yang dekat dengan partainya asal memilki modal bisa bertarung dalam pemilu legislatif.

Dan serta merta hal ini juga membuka ruang terjadinya proses mahar politik dalam menentukan nomor urut calon legislatif tersebut sehingga berimplikasi kepada lahirnya legislator yang minim kompetensi dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya.

Adapun pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup dengan menetapkan varian model penentuan kursi berdasarkan perolehan parpol di daerah pemilihan (Dapil) dan penentuan calon terpilih didasarkan pada Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).

Jika ada calon yang dapat memenuhi 100% BPP maka calon tersebut secara otomatis ditetapkan menjadi calon terpilih, jika tidak ada calon yang dapat memenuhi BPP, maka calon terpilih ditentukan berdasarkan daftar nomor urut yang ditentukan oleh partai politik dalam surat suara.

Jika masih terdapat sisa kursi dibagikan pada partai politik yang memperoleh sisa suara terbesar berturut-turut sampai semua kursi terbagi di daerah pemilihan (Dapil).

Akibatnya proses pencalonan dari nominasi hingga penetapan calon dalam internal parpol rentan dipermainkan dengan harga yang sangat mahal terutama untuk dapat menduduki nomor urut berpotensi terpilih biasanya antara urut 1 hingga 3 dalam list surat suara.

Namun demikian sistem pemilu proporsional tertutup dianggap mampu meminimalisir politik uang, spektrumnya dapat menekan biaya pemilu yang cenderung mahal.

Meskipun kedua sistem proporsional ini memiliki kekurangan dan kelebihan, namun perdebatan sistem pemilihan umum pada tahun 2024 mendatang mencuat seiring dengan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut hemat penulis, jika sistem proporsional tertutup diterapkan dalam pemilu 2024 mendatang seolah mengingatkan lagi kepada praktik dimasa orde lama dan orde baru, sedangkan sistem proporsional terbuka sudah diterapkan sejak pemilu 2004 supaya proses itu menjadi lebih demokratis dan proporsional terbuka dinilai masih lebih tepat untuk diterapkan.

Meski demikian, untuk kondisi Indonesia saat ini, sistem proporsional terbuka tetap paling tepat, pasalnya, kondisi parpol dilihatnya masih belum ideal untuk menerapkan sistem proporsional tertutup.

Hal ini terlihat mulai dari fungsinya dalam kaderisasi, regenerasi dan kedekatan dengan pemilih yang masih belum baik. Ruang kedaulatan rakyat terbuka lebar karena rakyat dapat menentukan pilihannya yang akan menduduki kursi parlemen.

Namun demikian bahwa sistem pemilu terbuka bukanlah sistem yang sempurna tanpa kelemahan. Persaingan politik antar calon legislatif baik internal maupun eksternal berujung pada penggunaan segala macam cara untuk meraih kemenagan politik, yang ujungnya minimnya peran partai politik.

Oleh karena itu perlu kajian yang mendalam oleh pembentuk undang-undang untuk mendesain kebijakan yang dapat meminilisasi dampak negative sistem pemilu terbuka ini. Pada akhirnya kepada KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu dapat membuat regulasi yang berkaitan pembatasan dana kampanye kepada para calon legislatif. Kini, tentu menanti keputusan dari uji materi oleh MK.

Namun, apa pun putusan dari MK, apakah proporsional terbuka dipertahankan atau diubah menjadi tertutup, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi karena kelemehan ada dalam setiap sistem. **** Penulis adalah: penggiat dan pengamat politik dan penah menjabat Ketua DPD KNPI Kabupaten Mandailing Natal ****

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *