PEMILU 2024

  • Bagikan

Oleh :

Shohibul Anshor Siregar

Saya berharap demokrasi yang dianut Indonesia saat  ini mampu memasilitasi dan sekaligus member jalan keluar yang bermartabat untuk sejumlah kontroversi hasil pemilu 2024 yang sudah diumumkan secara resmi oleh KPU.

Pertama, biarkan Prabowo-Gibran dan seluruh partai pendukung beserta relawan dan pemilih merasa sudah menang dan menikmati situasi itu, karena halite memang hak mereka sesuai procedural democracy.

Begitu juga partai-partai yang sudah dinyatakan lolos parliamentary threshold dan caleg yang sudah dinyatakan sah menjadi anggota legislatif (RI, Prov, Kab, kota) untuk periode 2024-2029.

Selebrasi untuk itu sah-sah saja. Bahkan konsolidasi untuk persiapan menyongsong era 2024 – 2029 dipersilakan.

Misalnya, Prabowo mulai menseleksi calon-calon menteri dan figur-figur yang akan didudukan dalam pemerintahan sesuai hak prerogatif yang dimiliki seorang presiden.

Prabowo-Gibran dan orang-orang terdekat serta para ahli duduk bersama untuk merumuskan kembali secara teknokratis penajaman dan penjabaran visi dan misi serta janji-janji yang disampaikan kepada publik saat kampanye.

Kedua,  harus diterima secara demokratis bahwa tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat menghalangi upaya hukum dari semua orang yang memiliki legal standing menolak hasil pemilu dan pilpres yang diumumkan oleh KPU dan melawannya dalam ranah peradilan bersipat imparsial.

Anies Rasyid Baswedan – Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD memiliki hak konstitusional untuk menolak hasil pilpres 2024 dengan membawa bukti-bukti material yang diperlukan untuk persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Indonesia tak boleh lupa, bahwa sesuai keputusan Majelis Kehormatan MK yang diketuai Jimly Ashiddiqi, mantan Ketua MK, Anwar Usman, yang mendapat sanksi keras diberhentikan karena meloloskan Gibran menjadi Calon Wakil Presiden 2024-2029, tidak diperkenankan ikut menyidangkan perkara karena hubungan kekerabatan dengan salah satu pihak dalam perkara.

Pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD secara teknis hanya memerlukan sejumlah data kecurangan tertentu untuk membuktikan bahwa Prabowo-Gibran tidak beroleh suara yang mencukupi untuk status menang pilpres satu putaran sesuai semangatnya. Hal ini ditentukan dengan jelas oleh UU Nomor 7 Tahun 2027.

Syarat Pilpres satu putaran tertuang dalam Pasal 416 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yakni ketika ada pasangan calon Presiden yang memperoleh lebih dari 50 persen dari jumlah suara Pemilu dengan 20 persen suara di setiap provinsi.

Jika kedua pasangan penggugat berhasil membatalkan perolehan suara dapat dibuktikannya, pilpres digelar untuk putaran kedua.

Khusus untuk pilpres, dua langkah dan agenda konstitusional demokrasi yang mungkin akan berlangsug untuk menyikapi hasil, yakni gugatan melalui MK dan fasilitas Hak Angket di DPR.

Pemilu dan pilpres dituding sangat buruk, dan bahkan mantan Wakil Presiden RI Muhammad Jusuf Kalla menyebutnya paling brutal sepanjang sejarah Indonesia.

Indonesia sudah tahu bahwa usai pencoblosan Ganjar Pranowo meminta DPR menggelar Hak Angket untuk menyelidiki anomali pemilu dan pilpres 2024.

Kompas yang melakukan survey untuk mengukur pendapat rakyat menyatakan bahwa lebih dari 62 persen rakyat Indonesia menginginkan digelarnya Hak Angket oleh DPR.

Paralelitas upaya hukum (gugatan di MK) dan penyelidikan melalui Hak Angket di DPR ini sangat baik untuk tumbuh-suburnya demokrasi di Indonesia.

Hak angket normatifnya akan menyelidiki hal-hal yang menunjukkan anomali politik terkait pemilu 2024 dalam tiga penggalan waktu, yakni sebelum pemberian suara di TPS, saat pemberian suara di TPS dan setelah pemberian suara di TPS.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI jauh-jauh hari sudah memetakan permasalahan berdasarkan penelitian yang menghasilkan data “Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tahun 2024” yang menjelaskan adanya 4 (empat) dimensi utama kerawanan yaitu pertama, dimensi konteks sosial politik; kedua, dimensi penyelenggaraan pemilu; ketiga, dimensi kontestasi; dan keempat, dimensi partisipasi.

Penyelidikan dalam Hak Angket dapat mengacu kepada peta kerawanan yang dibuat oleh Bawaslu itu.

Jika misalnya dengan sangat menyesal Prabowo-Sandiaga dan partai pengusung serta para relawan dan pemilihnya tahun 2019 menuding MK sebagai mahkamah kalkulator karena tak mengindahkan data dan fakta kecurangan yang menghasilkan suara pilpres, maka mungkin kini MK itu sudah mulai belajar tentang esensi demokrasi yang bukan hanya teknis elektorasi dan jumlah suara belaka, melainkan juga tentang bagaimana suara diperoleh meski seolah-olah secara legal formal sah.

Kemungkinan besar MK tak tahu bagaimana cara menghubungkan perolehan suara dengan mobilisasi aparatur dan politik anggaran yang saat ini dikritik serius, yakni politik anggaran gentong babi.

Mungkin MK merasa tak berwenang mengadili mengapa dalam tahapan pemilu dilakukan perubahan undang-undang No 7 Tahun 2017 untuk meloloskan Gibran menjadi Calon Wakil Presiden.

Mungkin MK merasa tak memiliki kewenangan mengadili kecurigaan publik atas kemungkinan intervensi pejabat-pejabat kepala-kepala daerah yang ditunjuk dalam proses pemilu.

Mungkin MK tidak memiliki cara mencari benang merah antara hasil pemilu dengan aksi bagi-bagi bansos bahkan di depan istana oleh Joko Widodo.

Mungkin MK menganggap bukan fakta hukum yang menjadi ranah kewenangannya ketika diajukan keterangan klaim menteri tertentu bahwa bansos itu dari Joko Widodo.

Tetapi penyelidikan di DPR melalui pelaksanaan Hak Angket dapat memanggil dan menginterogasi siapa saja yang dituding bermain merusak integritas demokrasi dan pemilu 2024.

Ketiga, arena politik dalam penyelidikan Hak Angket DPR sangat penting dan dapat saling melengkapi dengan pekerjaan mencari keadilan hukum melalui MK.

Tentu saja masih sangat berpeluang sesama partai saling menggugat di MK. Sesama caleg dalam satu partai dan antar partai, juga berpeluang menggelar pertikaiannya di MK.

Kedua ranah itu jalan demokratis, untuk mengkanalisasi aspirasi dan temperatur nurani rakyat.

Jika arena politik di DPR dan arena hukum di MK berlangsung tidak demokratis dan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan, reaksi rakyat dapat semakin mengeras.

Harus dicatat bahwa kedua jalur solusional demokrasi (MK dan Hak Angket) sangat penting untuk pembenahan demokrasi Indonesia.

Semua anomaly demokrasi dan politik pemilu yang oleh mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla disebut brutal itu harus dihentikan, tidak boleh dilanjutkan apalagi dalam pilkada serentak 2024 yang akan digelar bulan Nopember. *** Penulis dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).***

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *