Gerakan Pemakzulan Jokowi, Blunder Atau Tepat ?

  • Bagikan
Muhammad Ikhyar Velayati Harahap

Kepanikan kelompok anti Jokowi yang ketakutan capres yang di usung akan kalah telak pada pilpres 2024 semakin menjadi jadi dan tindakannya menjadi liar dan tidak terkendali.

Kekwatiran yang luar biasa dari kelompok oposisi tersebut berawal dari hasil berbagai survey priode Oktober hingga Januari 2024 kecendrungan elektabilitas capres Prabowo-Gibran justru semakin tidak terkejar , bahkan di prediksi jika trend ini bertahan maka pilpres satu putaran akan menjadi kenyataan

Mulai ada gerakan dan narasi yang di bangun untuk menghempang dan menggerus elektabilitas pasangan 02 tersebut secara massif, terstruktur dan sistimatis

Pasangan Prabowo-Gibran di persepsikan sebagai kelanjutan dari kebijakan dan sosok Jokowi yang di jadikan common enemy (Musuh bersama) dari berbagai kalangan yang selama ini secara ekonomi maupun politik tersingkirkan dari panggung kekuasaan.

Jika kita cermati, gerakan dan isu pemakzulan sudah di mulai pada bulan Juni lewat surat mantan wakil menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang mendorong DPR untuk memulai proses pemakzulan Jokowi karena di anggap melakukan pelanggaran konstitusi.

Saat itu masyarakat dan elit politik masih bingung dan meraba raba konstitusi apa yang di langgar oleh Presiden Jokowi hingga harus di lengserkan

Kemudian wacana pemakzulan di lanjutkan oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera pada bulan Oktober , isu yang di angkat politikus PKS ini Jokowi di anggap mendorong putra sulungnya maju sebagai cawapres Prabowo Subianto, padahal jikapun benar itu adalah hak politiknya Gibran yang di benarkan oleh UUD.

Isu yang di angkat oleh Mardani Ali Sera di sambut oleh Anggota DPR RI dari PDIP Masington Pasaribu, bukan hanya sekedar berwacana tetapi lebih maju dengan mendorong DPR menggunakan hak angket terkait polemik yang terjadi saat itu di tubuh Mahkamah Konstitusi (MK).

Tetapi usul Masington ini mudah di patahkan dan tidak punya landasan hukum, karena keputusan lembaga Yudikatif tidak bisa di jadikan objek hak angket, strategi ini kembali blunder.

Saat ini kekuatan anti Jokowi menambah opsi gerakan dengan menggunakan parlemen jalanan yang di pimpin para akademisi , mantan pejabat dan purnawirawan TNI yang tersingkir dari panggung kekuasaan, mantan aktivis 98 dan Tokoh NGO untuk menambah daya dobrak dan daya tawar gerakan pemakzulan Jokowi yang tergabung dalam petisi 100.

Strategi yang di bangun oleh kekuatan anti Jokowi baik di parlemen maupun non parlemen memakai dua pendekatan yaitu delegitimasi kekuasaan Jokowi di Parlemen serta mobilisasi aksi aksi massa dengan isu dan narasi kecurangan pemilu, pemakzulan dan politik dinasti, ini isu sentral yang menjadi fokus serangan pihak oposisi.

Ada dua target politik yang di harapkan dengan strategi di atas pertama, isu, narasi dan gerakan mobilisasi massa tersebut di harapkan akan menghilangkan atau meminimalisir legitimasi Jokowi, hal ini di harapkan berdampak pada tergerusnya ekektabilitas pasangan Prabowo-Gibran.

Jika ini terjadi maka skenario pilpres dua putaran dapat terwujud dan pada putaran kedua baru akan di galang koalisi capres di tingkat elit dan penyatuan suara di tingkat akar rumput, walaupun ini sedikit naif Karena suara elit tidak berbanding lurus dengan suara di akar rumput

Kemudian target kedua dari gerakan pemakzulan Jokowi adalah antisipasi jika pasangan Prabowo-Gibran tetap menang satu putaran, maka isu kecurangan pemilu dan pemakzulan akan di jadikan alat utama untuk mendelegitimasi hasil pemilu dan desakan agar di laksanakan pemilu ulang tanpa Jokowi.

Jika gerakan ini tidak mendapat respon massa, paling tidak bisa sebagai alat tawar kepada capres terpilih untuk dilibatkan dalam kabinet yang baru yang di bentuk.

Akan tetapi fakta yang terjadi sebaliknya, semakin Jokowi di serang elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran justru semakin tinggi.

Hal ini terlihat dari berbagai hasil survey jelang pemilihan umum Presiden Dan Wakil Presiden 2024.

Pasangan 02 justru elektabilitasnya meroket meninggalkan pasangan lainnya. Jika trend ini bertahan maka di pastikan Prabowo-Gibran menang satu putaran.

Menurut saya pihak oposisi salah dalam membaca peta politik di akar rumput sehingga blunder dalam merancang strategi dan taktik pemenangan capresnya.

Mereka harusnya membaca trend tingkat kepuasan rakyat terhadap kinerja Jokowi selama dua tahun terakhir mendekati angka 75%, bahkan survey terakhir lembaga indikator politik priode 10-16 Januari 2024, kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi mencapai 79,3%.

Jadi tidak mengherankan strategi mereka tidak mendapat respon positif dari masyarakat

Justru saya kwatir dan mengingatkan para elit politik untuk mulai mempertimbangkan gerakan dan strategi politik pemakzulan Jokowi, karena akan bisa memancing reaksi aktif dari silent majority pendukung Presiden Jokowi.

Reaksi terhadap pelaku serangan politik terhadap Presiden Jokowi sudah di berikan oleh rakyat dalam bentuk hukuman elektoral, hal ini terlihat turunnya elektabilitas Partai dan Capres tersebut ke titik terendah karena gencar mendiskreditkan Jokowi dalam setiap narasi kampanye.*** (Muhammad Ikhyar Velayati Harahap Ketua Umum DPP Relawan Persatuan Nasional RPN))***

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *