FGD di USM Indonesia Bahas Format Ideal Kurangi Risiko Bencana

  • Bagikan
Ketua Yayasan Sari Mutiara Dr Parlindungan Purba dan Rektor USM Indonesia Dr Dra Ivan Elisabeth Purba MKes usai mengulosi Kepala BPBD Provinsi Sumut dan Wilayah I, pada FGD Format Pengurangan Risiko Bencana yang Ideal, Sabtu (10/6/2023) di Ign. Washington Purba Hall kampus Jalan Kapten Muslim Medan. Berita Sore/aje

MEDAN (Berita): Universitas Sari Mutiara (USM) Indonesia menggelar Focus Group Discussion (FGD) Format Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang Ideal di Sumatera Utara, Sabtu (10/6/2023) di Ign. Washington Purba Hall kampus Jalan Kapten Muslim Medan.

FGD digelar USM Indonesia bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumut dan Wilayah I, Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Wilayah I – Medan, dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi Sumatera Utara.

Ketua Yayasan Sari Mutiara Dr Parlindungan Purba SH MM menuturkan, bencana terjadi karena alam, non alam dan akibat perbuatan manusia.

Menurutnya bencana tidak bisa dihindari, tapi bisa ditanggulangi jika siap menghadapinya.

“Kesiapan itu kita lakukan melalui kegiatan seperti ini untuk mencari format yang paling ideal guna mengurangi risiko bencana.

Perlu kerja sama dengan semua pihak agar peduli pada penanggulangan bencana,” kata Parlindungan.

Parlindungan Purba yang
akan maju kembali dalam pemilihan calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sumut melontarkan sarannya supaya ada asuransi bencana alam.

“Jangan yang biasa-biasa, tapi asuransi yang menyangkut masyarakat kelas menengah ke bawah.

Pemerintah daerah juga harus mengalokasikan anggaran untuk asuransi aset yang dimiliki masyarakat itu,” tuturnya.

Kepala BPBD Provinsi Sumut Tuahta Ramajaya Saragih AP MSi ketika membuka FGD tersebut menyatakan apresiasinya terhadap kegiatan yang diinisiasi USM Indonesia.

“Saya memiliki persepsi yang baik terhadap USM Indonesia sebagai satu lembaga yang baik terhadap kebencanaan di daerah ini,” ungkapnya.

Sedangkan Ketua FPRB Provinsi Sumut Dr H Bahdin Nur Tanjung SE MM menilai kepedulian ketua yayasan dan rektor sangat besar serta berperan aktif dalam menangani bencana yang terjadi di daerah ini.

Bahdin mengakui ada salah penafsiran dari masyarakat terhadap FPRB.

“Kita tidak melakukan tugas pokok membantu menanggulangi bencana.

Forum ini hadir untuk mengkaji apakah penanganan bencana sudah sesuai dengan aturan atau SOP, serta upaya penanggulangannya,” tuturnya.

FGD menghadirkan tiga narasumber yaitu Kepala BBMKG Wilayah I Medan Hendro Nugroho ST MSi, Rektor USM Indonesia Dr Dra Ivan Elisabeth Purba MKes, dan Pembina Forum Fasilitator Ketangguhan Bencana (F2KB) Drs Syafri Nasution MM.

Tampil sebagai moderator, Penata Penanggulangan Bencana Ahli Muda BPBD Sumut Drs Dariyus M Sinulingga MSP.

Kepala BBMKG Wilayah I Medan Hendro Nugroho dalam materinya berjudul Siaga Bencana Geo-Hidrometeorologi di Sumatera Utara, mengungkapkan bencana pada awalnya dikatakan sebagai takdir.

“Berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan serta bertambahnya pengalaman, kita ciptakan infrastruktur untuk evakuasi. Itu salahsatu upaya mengurangi risiko bencana,” katanya.

Tapi, menurutnya, upaya itu belum cukup karena masih dibutuhkan edukasi kepada masyarakat hingga ke tingkat bawah untuk menyampaikan info terkait kebencanaan.

“Bencana tidak bisa dielakkan, tapi dapat dikurangi dampaknya sehingga muncul konsepsi pengurangan risiko bencana,” ujarnya.

Ia menyebut, sejak 2020 BMKG membuat prakiraan cuaca berbasis dampak.

Dijelaskannya, ini salahsatu cara untuk memberi warning atau peringatan kepada masyarakat. Ia menyebutkan contoh kalau cuaca hujan akan berdampak apa dan juga terkait tofografi.

Diakuinya, BMKG menggunakan teknologi sedangkan masyarakat melakukan kearifan lokal untuk mengantisipasi dan menghadapi bencana.

“Bahkan, hewan diberi sensitivitas oleh Tuhan ketika bencana alam akan terjadi,” ucapnya.

Menanggapi itu, Pembina Forum Fasilitator Ketangguhan Bencana (F2KB) Drs Syafri Nasution menegaskan, kearifan lokal perlu dilestarikan sebagai upaya miitgasi bencana yang paling ampuh dalam pengurangan risiko bencana.

“Kearifan lokal di setiap daerah berbeda-beda. Untuk menjaga kelestarian kearifan lokal perlu komunitas kemanusiaan yang tangguh,” tukasnya.

Ia menuturkan, kearifan lokal ampuh dalam pengurangan risiko bencana.

Di kabupaten Mandailing Natal, di salahsatu desa, yaitu Desa Gunung Manaon Kecamatan Penyabungan, sebutnya, dipercayai bahwa apabila cuaca ekstrim hujan terus menerus sebagai tanda-tanda alamnya. Air keruh membawa kayu gelondongan.

“Apabila bekicot naik, pertanda banjir besar dan seberapa tingginya bekicot naiknya maka itulah dalamnya air banjir,” ujarnya.

Sedangkan kearifan lokal atau tanda-tanda alam yang terjadi di Kota Tanjung Balai dan sekitarnya, dipercaya jika akan terjadi banjir besar, maka semut angkrang berkeluaran dari dalam tanah.

Ia mengakui, hal itu memang menurut petuah orang tua tapi juga fakta, sehingga perlu penyebaran informasi.

“Perlu ada wadah di desa tersebut untuj penyebaran informasi. Bisa melalui kentongan atau speaker dari masjid bahwa akan terjadi banjir atau bencana alam, sehingga masyarakat bisa menyelamatkan harta bendanya.

Kita menyebutnya desa tangguh bencana untuk lebih bisa menanggulangi bencana,” jelasnya.

Rektor USM Indonesia Dr Dra Ivan Elisabeth Purba MKes ketika tampil sebagai narasumber dalam FGD itu memaparkan peran perguruan tinggi dalam penguatan ketangguhan bencana di Sumut.

Ivan menyebut USM Indonesia termasuk dalam anggota Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Risiko Bencana.

Kampus ini juga sudah sejak lama terlibat dalam penanggulangan bencana dan aktif mengikuti pelatihan kebencanaan.

Saat pandemi, perguruan tinggi ini bahkan pernah dijadikan tempat pelatihan kader Covid-19 dan melatih relawan sebanyak 2 ribu orang.

“Kampus ini sudah sejak lama berkolaborasi dengan BPBD dalam penanggulangan dan pengurangan risiko bencana,” ucap Ivan.

Dituturkannya, pada Rakornas Penanggulangan Bencana berlangsung Mei 2023, ada 7 arahan presiden.

Salahsatunya harus memprioritaskan kesiagaan dan kewaspadaan masyarakat ditingkatkan.

Ivan mengingatkan, bencana alam tidak bisa ditolak karena posisi Indonesia memang berisiko bencana.

“Yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita mengantisipasi serta melatih kesiapsiagaan kita bencana yang terjadi karena alam, non alam, dan ulah manusia,” ujarnya.

Ia menyayangkan tata ruang berubah jadi tata uang. Itulah yang jadi sumber bencana perbuatan manusia akibat salah kelola tata ruang. Tata ruang pemukiman di luar kaidah peruntukan, alih fungsi lahan.

Bersumber data dari Lembaga Layanan Pelayanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah I, Ivan menyebut sebanyak
202 perguruan tinggi yang ada di Sumut sungguh tepat digandeng oleh BPBD dan berkolaborasi. Ini lantaran perguruan tinggi punya tri dharma yang harus dijalankan.

Dijelaskannya, bagian implementasi tri dharma perguruan tinggi berkontribusi dalam menuju Indonesia tangguh bwncana (resilien) untuk pembangunan berkelanjutan 2045.

Kontribusi perguruan tinggi dapat dilakukan melalui pendidikan kebencanaan terintegrasi dengan kurikulum di semua level pendidikan (KKN Tematik).
Kemudian, pelibatan para akademisi/pakar dalam melaksanakan penelitian/kajian penanggulangan bencana, adanya rekomendasi, metodologi dan fakta ilmiah.

Pengabdian masyarakat, pendampingan masyarakat di daerah rawan bencana dan daerah yang terdanpak bencana.

Ivan juga menyoroti uang menjadi isu pertama pengurangan risiko bencana
Ia juga menilai tahap kesiapsiagaan menghadapi bencana masih lemah yang diindikasinya banyak korban pada saat terjadi bencana. Untuk itu, kata Ivan, kesiapsiagaan menjadi tanggungjawab bersama.

Ia meyakini perguruan tinggi bisa berperan dalam pra bencana, tanggap darurat – pascabencana.

“Inilah yang pernah dilakukan USM Indonesia dalam tanggap darurat bencana erupsi Gunung Sinabung,” ungkapnya. (aje)

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *