JAKARTA (Berita): International Monetary Fund (IMF) stau Dana Moneter Internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Asia-Pasifik di 2022 akan terpangkas menjadi 4 persen dari semula 4,9 persen dan di 2023 diproyeksikan 4,3 persen dari semula 5,1 persen
Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Krishna Srinivasan dalam World Economic Outlook mengatakan, pemulihan ekonomi Asia yang kuat pada awal tahun mulai kehilangan momentum. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2022 yang lebih lemah dari perkiraan IMF.
Meskipun begitu, IMF memperkirakan prospek ekonomi Asia masih lebih cerah dibandingkan regional lain.
Sebab Asia tetap menjadi titik terang relatif dalam ekonomi global yang semakin meredup,” ungkap Krishna dalam Regional Economic Outlook Report for Asia and Pacific: Sailing into Headwinds, Jumat (28/10/2022).
Menurutnya, pelemahan di Asia Pasifik ini diakibatkan oleh tiga tekanan ekonomi yang diperkirakan berlangsung terus menerus.
Pertama, ada pada pengetatan kebijakan moneter global. Dimana Federal Reserve menjadi jauh lebih agresif dalam memperketat kebijakan moneter untuk menurunkan laju inflasi AS yang melonjak. Hal ini menimbulkan tekanan kondisi keuangan yang hebat di Asia.
Kedua, adanya perang Rusia-Ukraina. berdampak pada lonjakan harga harga komoditas di Asia. Lonjakan harga komoditas ini menjadi faktor penting di balik depresiasi mata uang di sebagian besar negara di Asia.
Ketiga, adalah perlambatan pertumbuhan China. IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi 3,2 persen tahun ini akibat dampak dari kebijakan Zero Covid dan krisis di sektor real estat.
Meskipun laju inflasi Asia cenderung lebih rendah dari regional lain pada 2021, namun gejolak tajam volatilitas di pasar komoditas global setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari memberikan tekanan tambahan pada inflasi utama Asia di paruh pertama tahun 2022.
Krishna menekankan pembuat kebijakan perlu melakukan pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut untuk memastikan bahwa inflasi kembali ke target dan ekspektasi inflasi tetap terkendali.
Selain itu, konsolidasi fiskal juga diperlukan untuk menstabilkan tingkat utang dan mendukung sikap kebijakan moneter.
“Asia kini menjadi debitur terbesar di dunia selain menjadi penabung terbesar, dan beberapa negara berisiko tinggi mengalami debt distress.
Dinamika utang pemerintah dan swasta menjadi lebih buruk setelah pandemi karena pertumbuhan yang lebih lambat dan tingkat utang yang lebih tinggi,” ungkapnya. (agt)