Invasi Militer Rusia Terhadap Ukraina

  • Bagikan
Foto udara Alun-alun Kemerdekaan Maidan Nezalezhnosti di pusat Kiev, Ukraina, Jumat (25/2/2022). ( ant/rtr)
Foto udara Alun-alun Kemerdekaan Maidan Nezalezhnosti di pusat Kiev, Ukraina, Jumat (25/2/2022). ( ant/rtr)

Operasi militer yang diumumkan oleh Putin pada 24 Februari 2022 telah menyebabkan 198 orang tewas akibat serangan militer hingga 26 Februari 2022.

Dua tahun lalu, tepatnya pada akhir 2020, wilayah bekas Uni Soviet itu telah menjadi sorotan dunia akibat konflik berkepanjangan antara Armenia dan Azerbaijan.

Walaupun pada 2020 Rusia tidak turun langsung dan secara terang-terangan ikut dalam konflik ini dan pada akhirnya menjadi mediator dalam konflik tersebut, namun pada 2022 Rusia mengumumkan operasi militer dimana sejumlah wilayah di Ukraina, yakni Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupol diserang oleh militer dari jalur udara.

Lantas apa yang menjadi persamaan antara dua peristiwa tragis di wilayah bekas Uni Soviet ini ? Yang jelas terdapat persaingan antara Rusia dan Barat (AS, Uni Eropa, dan NATO) untuk mengimplementasikan ideologi politik mereka di wilayah bekas Uni Soviet. Mengapa Ukraina begitu penting bagi Rusia ?

Walaupun pada 1991 USSR telah bubar dan menjadi Rusia, diakui jika Rusia yang memiliki sejarah sebagai negara besar tidak ingin berpindah haluan begitu saja menjadi negara yang liberal dan demokratis.

Memang pada masa Presiden Mikhaïl Gorbatchev Rusia sempat condong ke Barat, hingga mencanangkan untuk membangun “The Common European Home” pada akhir 1980.

Ide ini kemudian disambut oleh Menteri Luar Negeri AS pada saat itu, James Baker, untuk membentuk suatu sistem keamanan yang terdapat di dalamnya AS, Eropa, dan Rusia.

Dapat dibayangkan, aliansi ini akan mencakup dari Vancouver, Kanada hingga Vladivostok, kota yang berada di wilayah Rusia Timur jauh. Namun, Rusia memiliki satu kondisi untuk setuju terhadap rencana aliansi ini, dimana Rusia bisa tetap memiliki pengaruhnya di Eropa timur.

Rusia melakukan berbagai cara untuk menjaga wilayah bekas Uni Soviet tetap pada radarnya.

Salah satunya adalah dengan dibentuknya Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) pada 1991 dan perjanjian ini ditandatangani sebelas negara, yakni Armenia, Azerbaijan, Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan melalui perjanjian Belavezh.

Di bawah Presiden Boris Yeltsin, organisasi ini memiliki tiga tujuan, yakni memperkuat CIS sebagai organisasi, mengonsolidasi hubungan negara anggota, dan memperkuat kerja sama bilateral antar anggota.

Dengan memiliki organisasi baru yang cukup menjanjikan, karena sebagian besar negara bekas Uni Soviet bergabung di dalamnya dan mendapat janji secara lisan dari AS bahwa NATO tidak akan memperluas pengaruhnya ke Eropa Timur, membuat Rusia cukup percaya diri untuk sementara waktu.

NATO sendiri, merupakan aliansi militer yang berisi negara-negara barat, dibentuk pada 1949 untuk menghadapi Uni Soviet pada saat itu.

Walaupun janji ini masih diperdebatkan hingga saat ini, namun Rusia menganggap hal ini sebagai sesuatu yang eksis dan nyata dan memang pada awalnya dipatuhi oleh Amerika Serikat.

Namun, pada 1999 NATO mengundang Polandia, Republik Ceko, dan Hungaria untuk bergabung. Hingga pada 2004, tujuh negara Eropa timur, yakni Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Romania, Slovakia, dan Slovenia diminta George Bush untuk bergabung ke NATO.

Bagi Rusia, hal ini dianggap suatu pengkhianatan, dimana aksi yang dilakukan oleh NATO sama saja memarjinalisasi keberadaan Rusia di dunia internasional.

Hal ini berdasar pada dua hal dimana, pada tahun 1997 terdapat deklarasi terkait hubungan, kerjasama, dan keamanan bersama antara NATO dan Rusia.

Pada intinya anggota NATO tidak memiliki intensi, proyek, atau alasan untuk menginstal senjata nuklir di negara anggota. Lalu, berdasarkan “janji” yang dibuat oleh AS menandakan bahwa NATO memiliki intensi untuk memperluas pengaruhnya di Eropa timur.

Ahli politik luar negeri Rusia, Bertil Nygren, mengungkapkan kebijakan luar negeri Rusia dibagi berdasarkan masalah yang dihadapi.

Nygren kemudian membagi menjadi tiga kategori, yakni the European regional security sub-complex, the Caucasus regional sub-complex, dan the central Asian regional sub-complex.

Ukraina masuk dalam European regional security sub-complex, bersama dengan Belarus dan Moldova.

Hal ini, dikarenakan wilayah ini sangat penting bagi Rusia diantara wilayah lainnya, sebab negara-negara ini memiliki perbatasan langsung dengan negara-negara Eropa yang dibawahi oleh Uni Eropa.

Rusia menganggap hal ini sebagai suatu ancaman dari perluasan NATO. Lalu, perlu diingat bahwa Rusia yang memiliki sumber gas alam terbesar di dunia, yakni 28 persen, menjadikan Ukraina dan Belarus sebagai wilayah transit sebelum akhirnya tiba di Eropa.

Di Ukraina, sejak akhir November 2004 hingga Januari 2005, serangkaian demonstrasi dan peristiwa politik terjadi segera setelah pemilihan presiden Ukraina 2004 pada pemungutan suara putaran kedua.

Kemenangan Viktor Yanukovych yang didukung oleh Rusia pada tahun 2004 mengundang lebih dari setengah juta orang Ukraina untuk memprotes di Central Kyiv yang kemudian menjadi dikenal sebagai Revolusi Oranye.

Setelah Yanukovych digantikan oleh Viktor Yuschenko, Rusia menyadari orientasi pro-Barat Yuschenko. Deklarasi Yuschenko yang akan menjadikan Uni Eropa dan NATO sebagai prioritas utama menjadi alasan Rusia menyalahgunakan ketergantungan Ukraina pada pasokan energi Rusia, dengan menaikkan harga gas.

Yuschenko tidak bergeming terhadap ancaman Rusia dimana, program latihan tahunan NATO akan berlangsung di semenanjung Krimea.

Aksi ini kemudian ditanggapi oleh rakyat Krimea dengan demonstrasi yang mana 60 persen dari mereka adalah etnis Rusia dan penutur bahasa Rusia.

Akar dari aneksasi Krimea pada 2014 ini kemudian menjadi pemicu bagi separatis pro-Rusia yang berada di Donetsk dan Luhansk di Ukraina timur yang memiliki etnis Rusia dan penutur bahasa Rusia terbesar, dimana pada April 2014 mereka mengambil alih teritori dan melawan militer Ukraina.

Dua area di Donetsk dan Luhansk berhasil diambil alih, dan mereka menamainya People’s Republic of Luhansk dan People’s Republic of Donetsk.

Rusia ditenggarai berada dibalik hal ini, namun mereka menolak akan keterlibatannya. Sepanjang 2000-an, Rusia menggunakan soft power atau hard power terhadap Ukraina, tergantung pada orientasi kebijakan luar negeri Ukraina.

Pada akhirnya, dengan digulingkannya Yanukovych yang pro-Rusia dan digantikan oleh pemerintahan yang pro-Barat membuat Rusia menggunakan kartu terakhirnya, yaitu hard power, yang menyebabkan aneksasi Krimea pada 2014.

Dan kini, pada 2022, aksi yang dilakukan Rusia atas operasi militer yang diumumkan membuktikan bahwa Ukraina merupakan tetangga yang penting dan Rusia siap melakukan apa saja untuk menghalau niat Ukraina bergabung dengan NATO.

Dua kepentingan Rusia terhadap Ukraina diantaranya adalah, Ukraina merupakan negara yang memiliki populasi terbesar di wilayah bekas Uni Soviet (populasi besar berarti pasar besar), yang memiliki total 44,9 juta penduduk, luas wilayah 603.700 km persegi (233.090 mil persegi), dan yang paling penting, Ukraina memiliki perbatasan dengan Rusia.

Jika Barat berhasil melemparkan rezim demokrasi ke Ukraina, hal ini dikhawatirkan Rusia dapat menyebarkan atau sengaja mengekspor revolusi ke negara-negara tetangga (dalam hal ini negara bekas Uni Soviet), termasuk Rusia.

Pada akhirnya, serangan Rusia terhadap Ukraina adalah sifat dari Great Power untuk mempertahankan pengaruhnya di lingkungan sekitarnya.

Jika ditarik kembali, berdasarkan teori neorealisme dari hubungan internasional, Rusia mendeskripsikan sistem internasional sebagai sesuatu yang anarki, tidak pasti, dan pada akhirnya setiap negara harus bertahan agar tetap berada di sistem internasional.

Hal ini yang kemudian mengakibatkan Rusia mengambil aksi untuk menyerang Ukraina, walau tidak dibenarkan dalam hukum internasional. Terlebih tidak terdapat hak self-defense yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB kepada Rusia .(ant)  ( Revy Marlina *) Pengamat kebijakan luar negeri Rusia dan resolusi konflik di Post-Soviet Space dan Yaman, lulusan Master bidang Diplomasi dan Negosiasi Strategik Universitas Paris Saclay dan Hukum Internasional Universitas Grenoble Alpes

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *