JAKARTA (Berita): Mantan Menteri Kesehatan (Menkes) dr. Siti Fadilah Supari mengatakan, penyebab gangguan ginjal akut pada anak sebetulnya bukan hanya karena zat kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Adapun, EG dan DEG merupakan zat kimia pelarut tambahan dalam sirop obat.
Menurut Siti Fadilah, jika diduga penyebabnya tercemar EG dan DEG, biasanya bayi terkena karena minum obat sirop. Sebab, yang terjadi di Gambia, Afrika Barat, bayi meninggal setelah tiga hari minum obat sirop tersebut.
“Yang saya tahu, pemerintah mengumumkan sejak ada pasien di RSCM. Kemudian kematiannya meningkat sampai 5-6 kali menunjukkan satu kejadian luar Biasa (KLB).
Tetapi tidak diumumkan berapa banyak korban yang benar-benar dari sirop yang diminum,” kata Siti Fadilah saat menjadi pembicara pada diskusi Gelora Talk bertajuk ‘Gagal Ginjal Akut Mengkhawatirkan Negeri, Bisakah Dihentikan?’, Rabu (26/10/2022) di Jakarta.
Siti Fadilah menyebutkan, munculnya gangguan ginjal akut awalnya dari Gambia, Afrika Barat. Diketahui, ada 66 bayi meninggal terkena gangguan ginjal akut karena tercemar zat kimia EG dan DEG.
Hal tersebut disampaikan oleh World Health Organization (WHO). Kemudian di Indonesia, juga mengalami hal serupa, terjadi peningkatan gangguan ginjal akut pada anak sejak Oktober 2022.
Siti Fadilah menuturkan, pemerintah yang menginformasikan jika penyebab karena tercemar EG dan DEG merupakan hal yang kurang tepat.
Seharusnya pemerintah mengumpulkan para ahli untuk mencari penyebab tersebut. “Jadi belum tentu karena itu (EG dan DEG) saja dan tidak diumumkan berapa persen pasien yang minum obat sirop dan beberapa persen karena yang lain,” paparnya.
Dikatakan Siti Fadilah, ada empat hal menyebabkan seseorang bisa terkena gagal ginjal akut di antaranya; Pertama, tercemar EG dan DEG.
Kedua, umumnya karena infeksi biasa atau infeksi luar biasa, misalnya bakteri virus dan lainnya. Penyebab infeksi ini juga ada angka kematian. Sementara kematian gangguan ginjal saat ini meningkat lima kali lipat. “Ini jangan dilupakan begitu saja,” ujarnya.
Ketiga, Multisystem Inflammatory Syndrome in Children (MIS-C). MIS-C berkepanjangan akibat long Covid-19.
Keempat, ada hubungannya dengan vaksin Covid-19 atau booster yang diberikan.
Dikatakan Siti Fadilah, secara tidak langsung ibu dari balita yang sudah mendapat booster Covid-19 bisa menjadi perantara untuk menularkan gangguan ginjal akut pada bayinya.
Menurut Siti Fadilah, ada beberapa kejanggalan terkait gangguan ginjal akut ini. Dalam hal ini, ia menyoroti keputusan pemerintah langsung menyebutkan penyebabnya adalah tercemar EG dan DEG, tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu.
Kata Siti, seharusnya pemerintah mengumumkan jumlah orang yang terkena gangguan ginjal akibat minum obat sirop.
Selain mengumumkan jumlah, lanjut Siti Fadilah, pemerintah juga harus menyampaikan secara rinci jenis sirop apa saja yang diminum pasien tersebut.
Siti Fadilah juga menyoroti pernyataan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang menyampaikan tidak pernah memeriksa kadar EG dan DEG.
Padahal, sirop disebut tercemar jika kadar EG maupun DEG lebih dari 0,1 persen. Hal tersebut tertuang dalam kompendium informasi obat (farmakope) Amerika Serikat maupun Indonesia.
“Kalau satu kemasan obat, kemudian kita tidak tahu EG dan DEG berapa, kita tidak bisa menyalahkan dia dong.
Kemudian semua obat sirop distop. Padahal yang tidak boleh yang ada kandungannya EG dan DEG melebihi 0,1 persen,” ucapnya.
Selanjutnya, Siti Fadilah menyayangkan kelanjutan dari kasus gangguan ginjal diduga akibat kandungan EG dan DEG pada obat sirop sehingga ada menjadi tersangka.
Menurutnya, seharusnya tidak seperti itu. Sebab, hal terjadi saat ini merupakan kelalaian karena tata kelola. Pada kesempatan ini, ia membandingkan ketika eranya menjadi Menkes.
“Zaman saya dulu masih andai, masih nurut dengan UU 1945 yang asli, belum kapitalistis, belum liberalistis, belum banget walaupun sudah mulai,” ucapnya.
Dikatakan Siti Fadilah, ketika ia menjadi Menkes ada perubahan yang sangat luar biasa pada BPOM, bahwa dengan liberalisasi, dengan masuknya kesehatan ke pasar bebas, maka peran BPOM hanya untuk registrasi.
“BPOM harus nurut saja pada yang tertera dari pabrik-pabrik obat yang meregister, baru kalau ada masalah baru diteliti. Ini kan masuknya kebobolan. Kebobolan bukan salahnya BPOM, bukan salahnya Menkes, tetapi kesalahan sistem, barangkali itu,” pungkasnya.
Pemerintah Bergerak Cepat
Menanggapi hal ini, Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, Kemenkes sejak mengetahui terjadi peningkatan kasus gangguan ginjal akut pada anak pada bulan Agustus 2022 telah bergerak cepat untuk mencegah peningkatan kasus tersebut.
Nadia menuturkan, Kemenkes mendeteksi gangguan ginjal akut dengan cepat mulai bulan Agustus 2022. Pasalnya, terjadi peningkatan kasus yang signifikan dari bulan sebelumnya.
Tercatat, pada bulan Agustus ada 36 kasus, sedangkan sebelumnya peningkatan hanya satu atau dua kasus.
Untuk memastikan peningkatan kasus tersebut, Nadia menuturkan, Kemenkes mengklarifikasi dan mencocokan informasi data tersebut dengan Ikatan Dokter anak Indonesia (IDAI).
“Dari pembahasan-pembahasan ini disampaikan dan IDAI setuju ini adalah gagal ginjal berbeda,” kata Nadia.
Nadia menuturkan, kondisi klinis gangguan ginjal akut yang dihadapi pasien saat ini tentu berbeda dengan gejala klinis sebelumnya, yakni tidak bisa buang air kecil secara tiba-tiba. Namun, situasi gangguan ginjal tersebut cepat terjadi perburukan pada pasien.
Kemenkes, sebut Nadia, melakukan pemeriksaan virus/bakteri dan jamur dari spesimen darah dan urine. Namun, tidak ditemukan penyebab konsisten.
Apalagi, gagal ginjal yang biasa memiliki kesempatan sembuh 90% saat cuci darah, namun khusus untuk penyakit gagal ginjal sejak Agustus hingga Oktober 2022, proses cuci darah tidak tidak memberikan hasilnya yang signifikan.
“Hanya 30 persen dari awal-awal bulan Agustus-September itu yang bisa sembuh dengan sempurna,” ucap Nadia.
Menurut Nadia, Kemenkes mendapat titik cerah penyebab gangguan ginjal tersebut, karena WHO mengeluarkan surat edaran pada 5 Oktober 2022 tentang kasus gangguan ginjal pada anak di Gambia, Afrika Barat. Adapun penyebabnya adalah pelarut obat-obatan yang mengandung EG dan DEG.
EG dan DEG merupakan zat kimia pelarut tambahan dalam sirop obat.
Namun sebelumnya Kemenkes telah melakukan berbagai langkah pencegahan kenaikan kasus seperti mengimbau melalui surat edaran terkait menghentikan sementara penggunaan dari pada sirup obat pada fasilitas pelayanan kesehatan, dan tenaga kesehatan.
“Ini tentunya untuk melindungi masyarakat kita. Padahal waktu itu, sebenarnya terus mencari penyebabnya tetapi secara cepat kita putuskan dulu untuk menghentikan obat dalam bentuk cairan maupun sirop,” paparnya.
Nadia menuturkan, belajar dari Gambia, Kemenkes juga melakukan intervensi lanjutan karena ada dugaan kemungkinan gangguan ginjal akibat dampak obat-obatan.
Adapun intervensinya seperti meningkatkan kewaspadaan kepada tenaga kesehatan mengenai gejala-gejala gangguan ginjal pada anak, hingga mengeluarkan surat edaran terkait standarisasi tata laksana termasuk pemeriksaan laboratoriumnya untuk mencari penyebabnya menghentikan penggunaan virus.
Sebab, kasus gangguan gagal ginjal di Indonesia ada indikasi mengarah ke intoksikasi akibat adanya zat toksik cemaran dari pelarut yang selama ini digunakan untuk melarutkan atau menstabilkan cairan obat dalam bentuk sirop.
Lantas, pemerintah memberikan obat antidotum Femopizole injeksi untuk pengobatan pasien gangguan gagal ginjal akut yang didatangkan dari Singapura, diberikan gratis kepada seluruh pasien.
Obat tersebut, kemudian diuji coba kepada 11 pasien gangguan gagal ginjal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Hasil uji coba itu memperlihatkan kondisisiu pasien yang membaik dan stabil.
Namun, Ketua Bidang Kesehatan DPN Partai Gelora Rina Adeline menilai pemerintah abai terhadap upaya pencegahan dalam mengantisipasi meningkatnya kasus gangguan gagal ginjal akut pada anak.
“Jadi yang perlu saya garis bawahi di sini adalah tentang pengawasan kita yang seperti ketinggalan alarm, sehingga kemudian muncul kondisi-kondisi seperti di India dan Gambia.
Ini sangat mengejutkan, memakan korban jiwa anak-anak generasi mudah kita di bawah 5 tahun, cukup tinggi,” kata Rina.
Seharusnya pemerintah, terutama BPOM dapat mengantisipasi dengan melakukan pengawasan terhadap obat Sirop yang mengandung zat EG dan DEG yang menjadi penyebab kematian pada anak-anak yang terjadi di Gambia pada Juni 2022 lalu, agar tidak terjadi di Indonesia.
“Harusnya pada bulan Agustus atau September sudah ada alarm terhadap pengawasan obat-obatan yang dijual bebas, ingredients atau kandungan aditif yang diperbolehkan, tapi semua sepertinya lewat dan lolos dari pengawasan.
Jangan baru jatuh korban jiwa anak-anak yang tinggi, baru melakukan pengawasan,” katanya.
Rina berharap masyarakat terus diberikan edukasi secara terus menerus mengenai pentingnya kesadaran pada sektor kesehatan agar ketika terjadi krisis kesehatan di Indonesia bisa melakukan pencegahan diri sendiri.
“Terakhir yang perlu ditingkatkan adalah penelitian kedepan perlu cakupan yang lebih luas lagi agar kita tidak tertinggal.
Karena Femopizole, obat gagal ginjal yang didatangkan dari Singapura itu hanya sekedar antidot atau penawar zat racun etilen glikol, tidak menyembuhkan gagal ginjal akut itu sendiri,” katanya. (aya)