Sri Mulyani : Pandemi COVID-19 Porak Porandakan Ekonomi

  • Bagikan
Tangkapan layar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sosialisasi UU HPP di Jakarta, Selasa (14/12/2021). (ant)
Tangkapan layar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sosialisasi UU HPP di Jakarta, Selasa (14/12/2021). (ant)

Jakarta ( Berita ) : Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pandemi COVID-19 telah menyebabkan berbagai opportunity loss bagi global termasuk Indonesia mulai dari penurunan ekonomi hingga dampak berkepanjangan atau scaring effect.

Tahun 2020 dunia diguncang COVID-19 yang memporakporandakan ekonomi dunia. Pandemi menciptakan opportunity loss di seluruh dunia, ekonomi yang tadinya tumbuh di atas 3 persen atau mendekati 4 persen kini terkontraksi 3 persen,” katanya dalam Sosialisasi UU HPP di Jakarta, Selasa (14/12/21).

Menurutnya, pandemi menyebabkan opportunity loss karena ekonomi tumbuh jauh di bawah ekspektasi seperti ekonomi global yang biasa tumbuh 3 persen sampai 4 persen terkontraksi sekitar 3 persen.

Kemudian ekonomi Indonesia yang biasa tumbuh di atas 5 persen pun terkontraksi menjadi 2,07 persen serta negara maju yang biasa tumbuh 3 persen sampai 4 persen juga terkontraksi hingga double digit sekitar 15 persen sampai 16 persen.

Selain itu, pandemi juga menyebabkan ketahanan fiskal mengalami tekanan cukup dalam yaitu penerimaan perpajakan Indonesia melemah hanya mencapai 8,33 persen PDB di bawah kondisi normal rata-rata 10,2 persen PDB selama 2015 sampai 2019.

Ia menuturkan penerimaan perpajakan yang terkontraksi lebih dari 16 persen bahkan mendekati 18 persen dengan di saat yang sama kebutuhan belanja meningkat menyebabkan defisit anggaran melonjak.

“Kebutuhan belanja meningkat untuk bidang kesehatan, melindungi masyarakat dengan bantuan sosial dan melindungi dunia usaha maka defisit APBN meningkat karena penerimaan merosot,” jelasnya.

Defisit anggaran dalam negeri meningkat signifikan mencapai 6,14 persen PDB yang merupakan di bawah kondisi normal rata-rata 2,3 persen PDB selama 2015 sampai 2019.

Hal itu tentu berimplikasi pada rasio utang yang meningkat tajam mencapai 39,4 persen PDB yaitu di bawah kondisi normal rata-rata 29,04 persen sepanjang 2015 sampai 2019.

Sri Mulyani mengatakan utang dan defisit Indonesia masih pada tingkat yang relatif modest dibandingkan negara peers baik di ASEAN maupun G20.

Meski demikian, ia menegaskan hal itu tidak berarti membuat pemerintah tidak waspada karena terus berupaya memulihkan ekonomi walaupun proses pemulihan yang mulus dan naik tinggi sempat terhentak oleh varian Delta.

“Ini menggambarkan COVID-19 is still here. Dia tidak bisa dikesampingkan karena dia menciptakan hambatan pemulihan sehingga ketika pertumbuhan ekonomi kuartal II melonjak 7 persen kuartal III terkoreksi kembali,” katanya. (ant )

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *