Nilai Kerugian Ekonomi Pemalsuan Produk 2020 Capai Rp 291Triliun

  • Bagikan

JAKARTA ( Berita ) : Berdasarkan data studi Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) bekerja sama dengan Falkultas Ekonomi Universitas indonesia (FE-UI) nilai kerugian ekonomi akibat pemalsuan produk di tahun 2020 mencapai Rp. 291Triliun.

“Angka ini meningkat berkali-kali lipat dari nilai kerugian ekonomi pada  hasil studi tahun 2015 sebesar Rp 65,1 triliun dan tahun 2010 sebesar Rp 37 triliun,” kata Plt Direktur Jenderal Kekayaan intelektual Kementerian Hukum dan HAM Ir. Razilu , M.Si., diskusi virtual tentang Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual, Selasa (21/12/2021).

Justisiari P. Kusuma selaku MIAP Executive Director MIAP mengatakan, pihaknya secara periodik telah melakukan studi terhadap dampak pemalsuan Hak Kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia sejak tahun 2005 yang diperbaharui setiap 5 tahun sekali.

“Hal tersebut yang terus mendorong semangat positif dalam upaya berkelanjutan penegakan perlindungan kekayaan intelektual di Indonesia” tambah Justisiari.

Secara urutan tingkat pemalsuan tertinggi di Indonesia dimulai dari  produk tinta printer (sebesar 49,4%), pakaian (sebesar 38,9%), barang dari kulit (sebesar 37,2%), dan peranti lunak (sebesar 33,5%).

Razilu menambahkan, bahwa khusus pada penjualan piranti lunak asli, hilangnya pendapatan dari pajak tidak langsung ditaksir mencapai Rp424 miliar.

Melalui kerjasama dengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy – Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH), studi ini mencakup 8  komoditi, yaitu: produk farmasi, kosmetik, barang dari kulit, pakaian, makanan dan minuman, pelumas dan suku cadang otomotif, catridge, dan software di beberapa kota besar di Indonesia.

“Menyikapi kondisi pandemi dan kemudahan mobilisasi, lebih kurang 500 responden diperoleh untuk mengisi kuesioner yang disiapkan di Jakarta dan Surabaya, serta beberapa kota lainnya” ujar Henry Soelistyo Budi selaku perwakilan IEALP UPH.

Berdasarkan hasil rekapitulasi olah data, studi ditemukan software masih menempati urutan tertinggi rentan dipalsukan hingga 84,25%, diikuti oleh kosmetik 50%, produk farmasi 40%, pakaian dan barang dari kulit sebesar masing-masing 38%. Kemudian makanan dan minuman 20%, serta pelumas dan suku cadang otomotif sebesar 15%.

Data pemalsuan ini menunjukkan seberapa besar kecenderungan permintaan terhadap produk palsu/ilegal di pasar.

Secara nominal, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh peredaran produk palsu tersebut mencapai lebih dari Rp 291 triliun, dengan kerugian atas pajak sebesar Rp 967 miliar serta lebih dari 2 juta kesempatan kerja.

“Melalui studi ini kami berharap dapat memberikan manfaat dan gambaran bagi para pelaku usaha atau industri secara luas, sekaligus juga dapat menjadi masukan untuk menstimulasi langkah-langkah perbaikan dari semua pemangku kepentingan untuk terus bekerja sama menghadirkan ekosistem yang lebih aman bagi masyarakat” ungkap Sekretaris Jenderal MIAP, Yanne Sukmadewi

Razilu menegaskan, pihaknya selama ini tidak pernah berhenti melakukan berbagai upaya dalam rangka perlindungan atas hak kekayaan intelektual.

Menyadari bahwa upaya pemberantasan atas pelanggaran HKI tidak mungkin dilakukan sendiri, maka DJKI telah menginisiasi kerjasama dengan kementerian/lembaga (K/L) lainnya.

“Tujuannya, untuk melakukan agenda perbaikan regulasi dan implemetasi perlindungan dan penegakan hukum atas HKI.

Langkah ini ditempuh sebagai keseriusan pemerintah dalam merespon laporan-laporan dari dunia internasional yang masih menempatkan Indonesia dalam kategori negara-negara dengan tingkat perlindungan HKI yang dinilai belum efektif dan memadai,” tandasnya. (Agt)

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *