Kondisi Persaingan Usaha Di Sumut Tidak Sehat

  • Bagikan
Kepala KPPU Kanwil I Ridho Pamungkas. beritasore/laswie wakid
Kepala KPPU Kanwil I Ridho Pamungkas. beritasore/laswie wakid

MEDAN (Berita) :  Secara umum kondisi persaingan usaha di Sumatera Utara masuk dalam kategori Persaingan Sedikit Tinggi, di mana seluruh responden mempersepsikan demikian.

Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kanwil I Ridho Pamungkas mengatakan hal itu kepada wartawan Kamis (30/12).

Ia menjelaskan penelitian terkait indeks persaingan usaha di daerah diukur berdasarkan survey persepsi para pemangku kepentingan (stakeholder) di masing-masing provinsi yang meliputi Dinas Perindustrian Perdagangan, Bank Indonesia, KADIN dan akademisi daerah setempat.

Hasil pengukuran indeks persaingan usaha tahun 2021 menempatkan Provinsi Sumatera Utara pada peringkat ke 13 dari 34 provinsi dengan skor 4,99.

Nilai ini meningkat 0,62 point dibandingkan tahun sebelumnya. Dari sisi peringkat, juga terjadi lonjakan dari sebelumnya di peringkat 28.

Ridho memaparkan di Kota Medan, masyarakat mempertanyakan penunjukan pengelola parkir elektronik yang dianggap terpilih tanpa melalui mekanisme lelang yang adil serta berpotensi melakukan monopoli.

Badan Usaha Angkutan Sewa Khusus juga mempertanyakan kebebasan aplikator taksi online dalam merekrut, memberikan akses aplikasi dan mengoperasikan sendiri kendaraan tanpa izin penyelenggaraan angkutan sewa khusus.

Badan usaha angkutan kota mengeluhkan tarif gratis angkutan masal Bus Metro Deli Trans yang mengakibatkan pelaku usaha angkutan kesulitan mendapatkan penumpang.

Di Mandailing Natal, masyarakat melaporkan permasalahan pelaksanaan kemitraan usaha yang dianggapnya tidak adil dengan perusahaan perkebunan.

Di Deliserdang, peternak mandiri mengeluhkan biaya pakan ternak yang semakin tak terjangkau yang diduga terjadi karena adanya perilaku integrasi vertikal dari perusahaan pakan ternak.

Di awal tahun, lonjakan harga kedele import juga sempat memukul industri pengrajin tahu tempe di Kota Medan.

‘Kita juga mencatat ramainya pemberitaan terkait mahalnya biaya rapid test dan obat-obatan terapi Covid.

Di sektor penerbangan, kita mendengar bandara kualanamu akan dikerjasamakan dengan pihak asing, yakni PT GMR dari India,” ujarnya.

Di sektor pangan, masyarakat diresahkan dengan kenaikan harga minyak goreng yang dianggap tidak wajar.

Sebelumnya masyarakat petani juga diresahkan dengan kenaikan harga pupuk dan kelangkaan pupuk subsidi.

“Kita semua mafhum, persoalan-persoalan di atas arasnya ialah persaingan usaha,” ungkap Ridho.

Secara ekonomi, untuk mendapatkan keuntungan yang berlimpah, pengusaha bersaing dengan kompetitornya, baik dalam bentuk kualitas produk, layanan, maupun marketing.

Semua ini dilakukan agar konsumen tertarik untuk membeli produk yang ditawarkan. Dalam praktiknya, persaingan usaha tidak selalu berjalan baik, karena banyak pengusaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat dengan jalan yang tidak baik dan merugikan pelaku usaha lain ataupun konsumen.

Ada pengusaha yang menghalalkan segala cara untuk menarik konsumen agar membeli produknya. Pengusaha besar biasanya akan dengan mudah mengalahkan pengusaha yang lebih kecil, karena kekuatan modal dan pengaruhnya.

Pengusaha besar juga terkadang melakukan kartel dan monopoli. Pembentukan kartel oleh sejumlah pengusaha cenderung mengarah pada praktik monopoli sehingga pemegang hak monopoli dapat menentukan harga tanpa ada saingan.

Di sinilah regulasi yang mengatur persaingan usaha di kalangan pelaku bisnis menjadi sangat urgen. Dalam konteks hukum, persaingan usaha dimaksudkan untuk mengatur persaingan usaha di kalangan pelaku usaha agar tidak terjadi monopoli.

Salah satu tujuan dari lahirnya hukum persaingan usaha adalah mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.

Indeks Persaingan

Menurutnya, iklim usaha yang kondusif merupakan suatu kondisi yang diharapkan bagi terselenggaranya ekonomi pasar.

Dengan terciptanya suatu iklim usaha yang sehat dan kondusif akan memberikan dampak positif yang signifikan, baik secara makro maupun mikro.

Secara makro, iklim usaha yang sehat dan kondusif dapat mendorong masyarakat untuk memulai investasi-investasi baru, yang kemudian akan berdampak pada peningkatan dan perkembangan ekonomi nasional.

“Sedangkan secara mikro hal ini akan menguntungkan pihak suplier atau produsen, seperti petani, nelayan, ataupun suplier lokal lainnya, yang kemudian akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.

KPPU bekerja sama dengan Universitas Padjajaran (Unpad) baru saja merilis indeks persaingan usaha tahun 2021.

Hasilnya indeks persaingan di Indonesia tahun 2021 naik dari 4,65 menjadi 4,81 dari skala 7. KPPU optimistis nilai indeks persaingan usaha sebesar 5 atau sesuai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dapat tercapai pada 2024.

Selain menjadi indikator kinerja KPPU dalam menjalankan tugasnya, pengukuran indeks persaingan tersebut cukup penting karena dapat memberikan indikasi apakah daya saing dan produktivitas serta efisiensi sektor ekonomi di Indonesia tersebut semakin baik atau tidak.

Indeks persaingan usaha sendiri merupakan suatu indikator tingkat persaingan usaha di perekonomian. Pengukuran Indeks Persaingan berdasarkan survey persepsi kepada pemerintah, pelaku bisnis, dan publik yang dilakukan di 34  provinsi.

Survei ini ditujukan untuk memperhatikan persepsi publik atas tingkat persaingan usaha dan menentukan berbagai hal yang perlu menjadi perhatian bagi pemerintah dan KPPU dalam menyikapi persoalan persaingan usaha di masa mendatang.

Terdapat tujuh dimensi dalam survei, yakni

Struktur (jumlah perusahaan, konsentrasi pasar, diferensiasi produk, hambatan masuk),

Perilaku (koordinasi antar perusahaan, penetapan harga, promosi, riset), Kinerja (efisiensi, profit, produktivitas, output, adaptasi teknologi), Permintaan (elastisitas, subsitusi, pertumbuhan pasar), Pasokan (teknologi, lokasi, akses input), kelembagaan, (pemahaman tentang UU5/99, tentang KPPU, prinsip persaingan usaha) dan regulasi (Kebijakan daerah terkait dengan persaingan usaha).

Selain indeks persaingan, alat ukur dalam ekonomi industri untuk menilai efisiensi suatu sektor ekonomi adalah dengan menerangkan tingkat keuntungannya, salah satunya menggunakan indikator Price Cost Margin (PCM).

PCM merupakan selisih atau jarak antara harga yang terjadi di pasar dengan tingkat biaya marginal dari perusahaan atau dengan kata lain bisa disebut margin laba perusahaan.

Tingkat PCM yang tinggi dapat tercipta jika terdapat monopoly power atau rasio konsentrasi yang tinggi atau rantai pasok yang tidak efisien.

Dilihat dari dimensi yang diukur, dimensi regulasi memiliki rata-rata skor tertinggi sebesar 6,16.

Sementara dimensi perilaku merupakan dimensi dengan rata-rata terendah sebesar 4,14. Hal tersebut mengindikasikan bahwa regulasi pada daerah yang ada di Provinsi ini telah mendorong terciptanya persaingan usaha yang tinggi.

Meskipun sebagian responden menyatakan bahwa terdapat hambatan untuk memasuki pasar di Provinsi Sumatera Utara.

“Hal ini dikarenakan adanya masalah perizinan dimana tidak sejalan antara provinsi dengan daerah,” jei Ridho.

Sementara rendahnya skor dimensi perilaku menunjukkan bahwa pelaku usaha di Sumatera Utara masih relatif berperilaku yang mengarah pada persaingan tidak sehat, seperti pemanfaatan kekuatan pasar dalam penentuan harga, melakukan koordinasi dalam penetapan output dan harga, relatif kurang melakukan iklan dan relatif kurang melakukan riset dan pengembangan.

Dari sisi kinerja pasar, berdasarkan indikator harga diketahui bahwa harga barang dan jasa di Provinsi Sumatera Utara relatif lebih mahal dibanding daerah sekitar.

Sebagian kecil responden juga menyatakan terdapat adanya hambatan investasi di Sumatera Utara. Lebih jauh terkait indikator harga, tim juga melakukan pengukuran terhadap indikator PCM.

Hasilnya, terdapat empat sektor lapangan usaha di Sumatera Utara dengan skor PCM tertinggi, yaitu sektor Pertanian/Kehutanan, Pengolahan, Perdagangan Besar Eceran dan Konstruksi.

Ironisnya, hasil pengukuran PCM menandakan bahwa sektor dimana margin yang diambil relatif tinggi dibandingkan biaya produksinya justru berada di sektor yang menyumbang 60,8 persen dari total ekonomi Sumut, yakni Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan; Industri Pengolahan; Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor.

Di sektor perkebunan misalnya, data menunjukan Kelapa sawit yang merupakan komoditas unggulan sektor perkebunan di Sumatera Utara yaitu tercatat produksi kelapa sawit sebesar 41 persen dari seluruh total hasil perkebunan.

Namun tingginya harga TBS dari Sumatera Utara belum dinikmati petani kecil secara lebih merata.

Nyatanya, pengelolaan perkebunan sawit membutuhkan modal modal yang sangat besar untuk dapat mencapai tujuan dan menghasilkan hasil yang maksimal.

Maka diperlukan sebuah sistem yang mana sistem tersebut dapat meningkatkan dan mengangkat usaha kecil menjadi usaha yang lebih besar yaitu sistem kemitraan.

Tindak lanjut

Dalam upaya meningkatkan indeks persaingan usaha demi menciptakan suatu iklim usaha yang sehat dan kondusif, KPPU ikut andil melalui perannya sebagai lembaga pengawas.

Namun, meski hukum telah ditegakkan, fakta empiris menunjukkan bahwa masih banyaknya praktik monopoli yang dilakukan oleh pengusaha dalam berbisnis.

Untuk itu, KPPU perlu memperluas aspek kerja sama dengan menggandeng berbagai pemangku kepentingan, baik perguruan tinggi, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, maupun organisasi non-pemerintah.

Langkah ini penting mengingat persoalan dunia usaha semakin kompleks, serta membutuhkan kepastian hukum dan tata kelola pengawasan yang dapat diandalkan.

Kedua, tentunya harus ada upaya menurunkan PCM melalui proses persaingan di sektor terkait sehingga turnover ekonomi dan efisiensi di sektor tersebut meningkat.

Terkait dengan sektor perkebunan dan pertanian, KPPU melalui Kanwil I harus mengintensifkan pengawasan kemitraan usaha antara petani plasma dan perusahaan inti di sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit.

Nyatanya baru 2 persen pemegang HGU yang memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat dari luas tanah yang dimohon HGU untuk masyarakat sekitar dalam bentuk kemitraan (plasma) sesuai dengan izin kegiatan usaha.

Ketiga, terkait dengan dimensi struktur pasar, dan perilaku yang cenderung stagnan atau menurun, tentunya harus menjadi perhatian KPPU melalui Kanwil I untuk wilayah kerja terkait.

Dimensi perilaku mengindikasikan bahwa I untuk wilayah kerja terkait. Dimensi perilaku mengindikasikan bahwa terdapat menguasaan pasar oleh beberapa pelaku usaha, adanya potensi kerjasama dalam penetapan output dan harga dan lain sebagainya, yang mengarah pada persaingan usaha yang rendah.

Tercatat sepanjang tahun 2021, terdapat 45 laporan yang masuk dimana 28 diantaranya berasal dari provinsi Sumut dan masih didominasi sektor konstruksi, yaitu terkait persekongkolan tender. (wie)

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *