Limit Joko Widodo

  • Bagikan
Shohibul Ansori
Shohibul Ansori

Usul perpanjangan masa jabatan Joko Widodo maupun penundaan Pemilu menandakan satu hal penting dalam politik dan pemerintahan, yakni limit Joko Widodo. Meski Limit itu sebetulnya bukan baru tiba.

Ketika rakyat berharap sesuatu dari simbol kemeja kotak-kotak, dan bermetamorfosis menjadi kemeja putih lengan panjang dan digulung, sebetulnya masa keemasan dalam kepemimpinan Joko Widodo begitu kuat.

Masa-masa itu penuh narasi politik menjanjikan di balik dekonstruksi. Antara lain kerja-kerja-kerja, stop impor, pertumbuhan meroket, pungli Rp 10 ribu akan saya kejar, uang untuk pembangunan infrastruktur itu ada dan saya akan carikan, dan lain-lain.

Pada tahun-tahun terakhir periode pertamanya sebetulnya Joko Widodo sudah goyah. Tetapi karena pentingnya perkampanyean untuk memenangi pilpres dan didukung oleh emosi keterbelahan rakyat, produktivitas narasi yang ditimpali dengan scenario pencitraan besar-besaran dapat menutupi semua ketidakpatutan yang terjadi.

Akhirnya orang menagih janji, tak hanya dana tersimpan di luar negeri Rp 11 triliun. Meski buzzer terus dikerahkan, kadar rasionalitas rakyat malah semakin tinggi  dan reaksi kebangkitan civil society menunjukkan geliat.

Kini begitu banyak orang yang menyindir “mau ketawa takut ditangkap” (diarahkan untuk menggambarkan betapa repressifnya pendekatan hukum untuk menopang pemerintahan), “mau ketawa takut dosa” (menggambarkan betapa dahsyatnya deploy kalangan berlabel agama untuk menopang pemerintahan).

Lama-lama produktivitas narasi buzzer dan pengendalian media arus utama sudah tak lagi efektif.

Tak ada yang dapat membela mengapa kebijakan anggaran menghadapi Covid-19  tidak efektif dan malah gugatan pada MK menghasilkan kecemasan pemerintah.

Begitu dahsyat unjukrasa untuk menolak UU Ciptakerja dan revisi UU KPK, namun pemerintah menunjukkan bahwa Joko Widodo maunya seperti itu.

Ketika muncul mobilisasi perpanjangan masa jabatan Joko Widodo dan atau penundaan pemilu, kondisi yang terjadi adalah pupusnya harapan memperbaiki keadaan yang disebabkan kondisi pemerintahan yang sangat minim prestasi dan kewibawaannya terus degradatif.

Dari kondisi itu sebetulnya opini publik ingin diarahkan agar jangan menuntut perpendekan masa jabatan Joko Widodo dana tau percepatan pemilu.

Dilihat dari aspek hukum dan demokrasi, keduanya sama. Legitimasinya tergantung persetujuan publik yang berakhir di Senayan.

Secara politik, mobilisasi opini perpanjangan masa jabatan dana tau penundaan pemilu sah-sah saja. Sama halnya dengan mobilisasi opinsi untuk meminta perpendekan masa jabatan dan atau percepatan pemilu.

Memang limit Joko Widodo telah tiba. Pendukungnya ingin mengkondisikan penyelamatan dengan opini perpanjangan dan atau penundaan pemilu.

Tetapi nalar publik mengatakan bahwa limit itu harusnya disikapi dengan langkah sebaliknya, yakni memperpendek masa jabatan Joko Widodo dan atau mempercepat pemilu. **** Pengamat Sosial Shohibul Ansori ****

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *