Hoaks Omicron Beredar, Masyarakat Harus Bijak Memilah Informasi

  • Bagikan

JAKARTA ( Berita ) :  Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Dedy Permadi mengatakan, data dari survei yang dilakukan Katadata Insight dan Kementerian Kominfo menunjukkan  30 hingga 60 persen masyarakat di Indonesia terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi di dunia maya. Untuk itu dituntut kewaspadaan agar masyarakat tidak terjebak dalam informasi yang keliru.

Dalam siaran pers Menolak Hoaks COVID-19 dari Media Center Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) – KPCPEN, yang diterima Minggu  (12/12/2021), di Jakarta, Dedy menjelaskan beberapa hasil suvei terkait masih besarnya  pengaruh hoaks terhadap masyarakat.

Kemudian, survei dari Statista yang diadakan di tahun 2020 menunjukkan  60 persen masyarakat berusia 16 – 24 tahun di Inggris menggunakan media sosial  (medsos) untuk mendapatkan informasi tentang COVID-19.

Namun sebanyak 59 persen dari mereka terpapar informasi tidak benar terkait COVID-19.

Di Indonesia sendiri, ujar Dedy, berdasarkan survei Katadata Insight dan Kementerian Kominfo pada  tahun 2020, diketahui setidaknya 30 – 60 persen masyarakat terpapar  hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya,  hanya 21 – 36 persen saja yang mampu mengenali hoaks.

“Melalui survei tersebut juga ditemukan 11,2 persen responden menyatakan pernah menyebarkan kabar bohong atau hoaks dan 68,4 persen di antaranya mengatakan hanya ingin mendistribusikan informasi, meski belum memverifikasi kebenarannya,” papar Dedy

Ia menegaskan  hal ini harus terus menjadi perhatian bersama. Terlebih, angka penemuan hoaks terkait COVID-19 menurut hasil patroli siber Kementerian Kominfo sejak 2020 sampai 9 Desember 2021 masih menunjukan  berbagai macam hoaks dan disinformasi.

 Untuk isu hoaks COVID-19, kata Dedy, telah ditemukan 2020 isu pada 5228 unggahan media sosial, dengan persebaran terbanyak pada Facebook sejumlah 4527 unggahan.

Pemutusan akses telah dilakukan terhadap 5079 unggahan dan 149 lainnya sedang ditindaklanjuti.

Untuk isu hoaks vaksinasi COVID-19, ditemukan  408 isu pada 2489 unggahan media sosial, dengan persebaran terbanyak juga pada platform Facebook dengan jumlah 2297 unggahan.

Dedy menjelaskan, pemutusan akses telah dilakukan terhadap seluruh unggahan tersebut.

Sedangkan terkait isu hoaks PPKM, ditemukan  49 isu pada 1250 unggahan medsos dengan penyebaran terbanyak juga pada Facebook, yakni 1232 unggahan.

Pemutusan akses dilakukan terhadap 1090 unggahan dan 160 lainnya tengah ditindaklanjuti.

Pada minggu ini, jika dilihat dari setiap topik hoaks terkait COVID-19, masih ada pertambahan isu dan angka sebaran yang melebihi angka dari minggu yang lalu,” papar Dedy.

Namun secara keseluruhan, pada minggu ini total pertambahan hoaks  tentang COVID-19, vaksinasi COVID-19, dan PPKM sebanyak 17 isu di 74 unggahan media sosial.

Angka ini sedikit lebih kecil dibandingkan minggu sebelumnya, di mana terdapat total pertambahan  18 isu di 88 unggahan media sosial.

Untuk perbandingan angka selengkapnya sebagai berikut :

  • Isu hoaks COVID-19 di minggu ini terdapat pertambahan sejumlah 10 isu dan 34 unggahan, sedangkan minggu sebelumnya, pertambahan yang ada adalah 11 isu dan 32 unggahan hoaks.
  • Isu hoaks vaksinasi COVID-19, pada minggu ini bertambah 7 isu dan 13 unggahan hoaks. Diminggu sebelumnya, pertambahan isu ini adalah sebanyak 6 isu dan 27 unggahan.

 

  • Sedangkan untuk hoaks PPKM tidak ada pertambahan isu minggu ini, namun terdapat pertambahan unggahan sebanyak 27 hoaks. Tercatat pada minggu lalu, adanya penambahan 1 isu dan 29 unggahan hoaks.

Dari 17 isu hoaks seputar COVID-19 yang beredar selama seminggu terakhir, ujar Dedy, terdapat  beberapa contoh hoaks dan disinformasi yang perlu ditangkal bersama.

Pertama, pada 2 desember tersebar hoaks melalui sebuah gambar tangkapan layar pada situs WHO yang menunjukkan bahwa varian Omicron terdaftar pada November 2020 dan bukan varian COVID 19 terbaru.

Kedua, pada 3 Desember beredar hoaks melalui sebuah video di media sosial yang mengklaim bahwa  penyintas COVID-19 tidak perlu di vaksin karena memiliki kekebalan natural.

Ketiga, pada hari yang sama, telah beredar disinformasi di media sosial sebuah poster film berjudul  The Omicron yang diklaim tayang pada tahun 1963.

Keempat,  pada 4 Desember beredar disinformasi postingan di media sosial yang membagikan daftar  dugaan gejala virus Corona varian Omicron dan menyiratkan bahwa gejala tersebut sebenarnya adalah komplikasi dari vaksin COVID-19. (rel/art)

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *