Langkah Responsif Polda Sumut Soal Beras Oplosan Mereduksi Keresahan Masyarakat

  • Bagikan
Personil Polda Sumut saat Sidang ke salah satu swalayan di Medan.beritasore/ist.

MEDAN (Berita): Salah satu persoalan yang meresahkan masyarakat adalah informasi tentang adanya beras oplosan yang dijual bebas. Dengan turunnya tim dari Polda Sumut melakukan pemeriksaan langsung ke pasar swalayan maka akan memberikan rasa kepastian kepada masyarakat akan kebenaran informasi tersebut.

Hal ini dikatakan dosen Fisipol Universitas Medan Area (UMA) Dr Dedi Sahputra, MA di Medan, Senin (21/7).

Dia menegaskan bahwa langkah responsif Polda Sumut yang dilakukan secara profesional dan konsisten akan menimbulkan rasa aman dan mereduksi keresahan yang terjadi di masyarakat.

“Langkah responsif Polda Sumut ini layak diapresiasi. Apalagi apabila dalam penelusuran di lapangan berhasil menemukan kasus beras yang dioplos maka kepercayaan masyarakat akan semakin tinggi sekaligus rasa keresahan masyarakat akan berkurang bahkan hilang,” ujarnya.

Seelumnya diberitakan, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumatera Utara melalui Unit 1 Subdit I Indag melakukan Sidak di salah satu Swalayan Jalan Karya Jaya, Medan Johor.

Kegiatan ini menyasar dugaan peredaran beras premium yang tidak sesuai standar mutu dan pelabelan.

Dalam pengecekan, tim menemukan beras merek INNA produksi PT. Intika Pangan Gemilang dan Raja Ultima produksi PT. Belitang Panen Raya yang dijual dengan harga Rp15.400 hingga Rp15.700 per kilogram.

Meski dikemas sebagai produk premium, beras-beras tersebut kini dalam proses verifikasi legalitas mutu dan informasi labelnya.

Kasubdit I Indag Ditreskrimsus Polda Sumut, AKBP Edriyan Wiguna, S.I.K., M.H., menyampaikan bahwa langkah ini merupakan bagian dari pengawasan distribusi pangan agar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

“Kami tidak ingin masyarakat dirugikan akibat produk pangan yang tidak sesuai standar. Setiap pelaku usaha wajib memastikan mutu dan kejelasan informasi dalam kemasan. Bila terbukti melanggar, tentu akan kami tindak sesuai hukum,” tegas AKBP Edriyan.

Saat ini, polisi tengah mengumpulkan dokumen dari perusahaan terkait, menguji sampel beras di laboratorium Disperindag Sumut, serta menjadwalkan pemanggilan pihak produsen untuk klarifikasi.

Koordinasi juga dilakukan dengan Dinas Perdagangan, Dinas Perizinan, dan Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Sumut sebagai bagian dari tindak lanjut.

Polda Sumut menegaskan komitmennya dalam melindungi konsumen dan menciptakan iklim perdagangan yang adil serta bertanggungjawab di wilayah Sumatera Utara.

Standar Mutu Beras

Adanya temuan pemerintah melalui Kementerian Pertanian terkait berbagai merek beras premium yang tidak sesuai mutu dan label atau acapkali disebut beras oplosan, menjadi fokus perbaikan dalam tata niaga perberasan nasional saat ini. Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) pun mendorong produsen beras premium agar dapat berbenah dan mengimbau masyarakat dapat lebih jeli dalam memilih beras sesuai preferensinya.

Kepala NFA Arief Prasetyo Adi menjelaskan bahwa praktik tersebut memang ada berupa pencampuran butir patah dengan butir kepala. Namun pencampuran tersebut harus sesuai standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah.

Terkait itu, kelas mutu beras premium telah diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023.

Untuk beras premium harus memiliki kualitas antara lain memiliki butir patah maksimal 15 persen, kadar air maksimal 14 persen, derajat sosoh minimal 95 persen, butir menir maksimal 0,5 persen, total butir beras lainnya (butir rusak, butir kapur, butir merah/hitam) maksimal 1 persen, butir gabah dan benda lain harus nihil.

Tidak jauh berbeda, dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020 beras premium non organik dan organik harus mempunyai komponen mutu antara lain butir patah maksimal 14,50 persen; butir kepala minimal 85,00 persen; butir menir maksimal 0,50 persen; butir merah/putih/hitam maksimal 0,50 persen; butir rusak maksimal 0,50 persen; butir kapur maksimal 0,50 persen; benda asing maksimal 0,01 persen, dan butir gabah maksimal 1,00 per 100 gram.

“Kalau istilah oplosan itu cenderung berkonotasi negatif. Seperti misalnya minyak seharga Rp 15.000, tapi dicampur dengan minyak seharga Rp 8.000, lalu dijual dengan harga Rp 15.000. Nah itu maksudnya oplos,” ungkap dia.

Arief Prasetyo Adi mempertegas praktik oplos yang tidak diperbolehkan dan mengandung delik pidana adalah jika menggunakan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Hal ini karena beras SPHP terdapat subsidi dari negara sebagai salah satu program intervensi perberasan ke pasaran.

Pemerintah saat ini berkomitmen terhadap pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih untuk dijadikan outlet penyaluran beras SPHP yang resmi. Pada 21 Juli mendatang, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih akan diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto yang menandakan pula dimulainya kanal penyaluran beras SPHP ke masyarakat.(Ded)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *