MEDAN (Berita) : Selain sebagai apologi tak sehat atas dosa rezim, yang dirinya ada di dalamnya, tentang korupsi yang makin merajalela di Indonesia, Mahfud MD secara tak sadar telah menstimulasi perguruan tinggi untuk atas dasar nilai akademik berani melakukan koreksi terhadap pemerintah.
Disadarinya atau tidak, apologinya itu lebih bermakna sebuah signal mendorong radikalisasi dunia akademik untuk berhadap-hadapan dengan pemerintah, ketimbang sebagai teguran penyadaran dan tagihan tanggung jawab kepada perguruan tinggi.
Hal itu diungkapkan Pakar Politik dan Sosial Dr.Shohibul Ansor Siregar kepada Berita, Jumat,( 28/5), menyikapi pernyataan Mahfud MD tentang merajalelanya korupsi merupakan tanggung jawab Perguruan Tinggi (PT)
“Tidak ada tradisi korupsional yang dibawa oleh alumnus perguruan tinggi ke lapangan kerja pasca wisuda.
Malah setiap alumnus dipastikan selalu menderita batin karena harus bekerja dalam iklim koruptip yang amat sistemik, terlebih di birokrasi pemerintah, apalagi di tengah kelangkaan lapangan kerja seperti sekarang,terang Shohibul.
Bahkan untuk bertahan (survive) dalam pekerjaannya para alumnus itu harus adaptif.
Berdamai dengan korupsi dan segala macam penyimpangan itu menjadi pilihan tunggal, terutama di dalam birokrasi pemerintahan, jika tak mau menjadi musuh bersama.
Karena itu, lanjut Shohibul, Mahfud MD salah alamàt meminta tanggung jawab perguruan tinggi.
Dalam jabatannya sebagai Menkopolhukam, apalagi dihubungkan dengan latar belakang jabatan guru besarnya, sebetulnya Mahfud MD terlalu miskin inisiatif dan karya untuk ikut membuat Indonesia lebih baik. Sejarah pasti akan mencatatnya, papar Shohibul.
Dikatakan Shohibul, sebelum periode rezim ini berakhir, Mahfud MD masih memiliki kesempatan untuk menciptakan legacy bagi rakyat yang merindukan perlindungan keadilan, kemakmuran dan minim korupsi.
Dan Mahfud MD pasti tahu iklim anti demokrasi dalam perguruan tinggi di Indonesia yang tidak hanya terlihat dari regulasi suksesi kepemimpinannya.
Faktor itu menjadi hulu dari iklim ketidakramahan kehidupan kampus sebagaimana bisa dilihat dari nasib seorang Guru Besar Pancasila, Suteki, sebut Shohibul mencontohkan.
Mengoreksi
Hendaknya, kata Shohibul, nasib Profesor Suteki tidak perlu membuat takut para Guru Besar yang beberapa hari belakangan ini mengoreksi kesalahan KPK soal Test Wawasan Kebangsaan dan meminta Presiden Jokowi melakukan sesuatu untuk menyelamatkan KPK yang ditimpa krisis sejak dipimpin Firli Bahuri.
Begitupun dengan Profesor Deliar Noer pernah mengalami perlakuan buruk rezim, namun namanya di dunia internasional tetap dikenang, contoh Shohibul
Peran Dewas
Ditanya sekaitan penonaktifan pegawai KPK, kata Shohibul seyogyanya Dewan Pengawas (Dewas) KPK berusaha mencari dasar hukum untuk segera menonaktifkan seluruh pimpinan KPK agar diperiksa.
Siapa yang terbukti tidak berintegritas, dipecat dan yang masih dapat ditoleransi diaktifkan kembali.
Shohibul juga menyayangkan peran wakil rakyat yang tidak memiliki niat baik untuk merontokkan korupsi di Indonesia.
“DPR RI dan pemerintah satu suara tidak lagi memiliki niat baik untuk memberantas korupsi.
KPK sendiri bukan lagi sebuah lembaga yang dapat diandalkan karena itu di bubarkan saja, pungkas Shohibul. (lin)














