FK Puspa Minta Pemko Medan Cegah Munculnya Anak “Silver” Di Jalanan

  • Bagikan

MEDAN (Berita) : Forum Komunikasi Partisipasi Publik Untuk Kesejahteraan Perempuan dan anak (FK Puspa) Kota Medan  minta Pemko Medan segera cegah munculnya anak “silver” yang banyak muncul di jalanan, terutama pada masa pandemi Covid-19 saat ini.

Hal itu diutarakan Ketua FK Puspa Kota Medan Muhammad Jailani dan Sekretaris MA Camelia Nasution dalam pernyataan sikapnya disampaikan kepada Berita Selasa (8/9/2020).

Tewas Tertabrak Truk

Sikap FK Puspa Medan terhadap anak Silver berpijak dari kasus Jonathan (10 tahun) yang  tewas tertabrak truk pada malam hari,  31 Agustus 2020 di simpang Jalan Amal MEDAN sekitar pukul 23.00 WIB.

Jonathan merupakan anak kedua dari 4 bersaudara, memiiki seorang ibu yang bekerja sebagai pemulung, bersama teman-temannya beberapa bulan terakhir melakoni peran sebagai bocah silver, yakni seluruh tubuh diberi cat warna silver dan selanjutnya berjalan lalu meminta-minta kepada para pengendara yang lewat (hasil  penelurusan PKPA, September 2020).

Sebelumnya pada media Juni 2020 dilakukan razia pada manusia silver bersama gelandangan dan pengemis di kota Medan yang sama sekali tidak mencerminkan  tindakan yang berbasis hak anak dan juga hak azasi manusia.

“Kejadian kematian Jonathan juga  menyiratkan adanya satu persoalan dalam penanganan perlindungan anak di Kota Medan yang harus dibenahi secara komprehensif dan menggunakan pendekatan berbasis hak anak,” kata Jailani.

Menurut dia, fenomena bocah silver di Kota Medan, yang juga wajah perlindungan anak, akhir-akhir ini semakin merebak, khusunya di masa pandemi covid 19, hampir disetiap sudut persimpangan jalan, mereka beraksi dengan cat silvernya sambil membawa kotak berharap diberikan sejumlah uang dari pengendara di jalan.

Tentu keberadaan mereka di jalan sangatlah berisiko. Risiko dari eksploitasi, kekerasan, pelecehan, kecelakaan, kesehatan dan lainnya.

Push Factor

Ia menilai merebaknya modus anak-anak silver ini dapat dilihat dari dua factor disebut dengan factor penekan (push factor) dan factor penarik (pull factor). Factor penekan utama selalu disebutkan karena masalah  ekonomi, yang menjadikan seseorang mau melakukan pekerjaan apapun agar dapat bertahan hidup atau memenuhi kebutuhannya.

Profesi ini dianggap menarik dan lucu bagi sebagian pengendara yang melintas di jalan sehingga memudahkan mereka untuk memperoleh uang dari lakon tersebut.

Ditambah lagi pada masa pandemi Covid-19, masih ada anak yang sama sekali tidak mengikuti program Belajar Dari Rumah  (BDR).

Hasil penelitian dari Yayasan Gugah Nurani Indonesia (GNI), salah satu lembaga anggota FK PUSPA Kota Medan, menunjukkan dari 227 anak yang menjadi responden, hanya 66,51 persen yang mengikuti BDR, sedangkan 33,49 persen sama sekali tidak belajar karena tidak memiliki sarana belajar seperti HP Android.

Akan tetapi meskipun anak memiliki sendiri HP Android dan kuota internet, ternyata tidak semua anak juga aktif belajar setiap hari. Dari 125 siswa yang memiliki HP Android,  hanya 29,60 persen yang setiap hari mengikuti pembelajaran, sedangkan sisanya 70,40 persen pernah absen beberapa kali.

Penelitian ini juga menemukan bahwa guru masih sering memberikan tugas-tugas individu seperti menyelesaikan soal-soal hitungan dan meringkas buku.

Tugas-tugas seperti ini dianggap membosankan oleh siswa, dan tidak selalui diikuti dengan diskusi yang intens antara guru dan siswa, bahkan guru jarang sekali menghubungi siswa untuk bertanya tentang pemahaman siswa tentang materi pembelajaran, termasuk menanyakan kondisi psikologis siswa.

“Siswa yang bosan dengan model pembelaran seperti ini dan tidak terpantau oleh orang tua dan guru memilih untuk bermain atau bekerja yang diantaranya turun ke jalan,” ungkap Jailani.

Manusia silver

Manusia silver sejatinya merupakan seniman jalanan yang dilakukan di lokasi tertentu disertai dengan pertujukan seni, seperti gerakan phantomim atau gerak seni lainnya, yang pada awalnya banyak dilakukan di negara-negara Eropa.

Seniman ini juga mengharapkan pemberian uang dari para penonton, karena memang di Eropa dilarang mengemis di jalanan. Cara ini kemudian ditiru di Jakarta namun dengan merubah pola turun ke jalan.

Hanya saja tidak meminta-minta langsung. Mereka tetap berpantomim dengan pakaian superhero.

“Namun di Medan manusia silver termasuk anak-anak silver tidak melakukan pantomim, melainkan langsung menyodorkan kotak kepada pengendara yang sedang berhenti di lampu merah,” jelasnya

Terlepas dari perubahan pola tersebut, anak-anak silver yang seharusnya menikmati hak-haknya terpaksa menjadi manusia silver.

Situasi ini jelas merupakan kegagalan dalam pemenuhan dan perlindungan hak anak yang seharusnya dilakukan oleh negara.

“Maka seharusnya pemerintah kota Medan dan juga DPRD kota Medan melakukan kewajibannya secara strategis dalam mengeliminasi anak silver dengan  pendekatan hak anak. Apalagi Medan, dalam dua tahun berturut-turut mendapat penghargaan sebagai Kota yang Menuju Kota Layak Anak,” ujarnya. (Wie)

Berikan Komentar
  • Bagikan