JAKARTA (Berita): Pernyataan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja berwacana mengusulkan opsi penundaan Pilkada Serentak 2024 berbuah polemik.
Usulan itupun disikapi dingin banyak kalangan karena dinilai tidak mungkin melakukan penundaan pilkada yang penyelenggarannya sudah disepakati pada 27 November 2024 atau beberapa bulan setelah hari H Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024.
Sikap dingin penolakan atas usulan itu mengemuka dalam diskusi Dialektika Demokrasi ‘Polemik Penundaan Pilkada 2024’ di Media Center Jakarta, Selasa (25/7).
Tiga narasumber yang dihadirkan yaitu Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa dan iFraksi Nasdem, Pengamat Politik Siti Zuhro dan Praktisi Media Friederich Batari, menolak wacana yang dilontarkan Ketua Bawaslu itu.
Karena apa yang mereka wacanakan, itu pasti akan membuat suasana menjadi tidak pasti apalagi tahun 2024. Itu tahun politik dimana beban, bukan hanya beban penyelenggara, tapi partai politik begitu besar bebannya.
“Dia (parpol) harus menyiapkan pemilu serentak nasional, pilpres, pileg DPR RI provinsi, kabupaten kota, dia harus menyiapkan semuanya,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustopa.
Sesuai ketentuan perundangan, Anggota DPR dari Fraksi Partai NasDem itu mengatakan Bawaslu maupun KPU sebagai penyelenggara pemilu seharusnya bersikap profesional menjalankan tupoksinya yaitu melaksanakan UU bukan berwacana ingin mengubah apa yang telah disepakati dan diputuskan pemerintah dan DPR selaku pembuat UU.
“Kalau undang-undangnya berbunyi bulan November, selama tidak ada perubahan Undang-Undang Pilkada yang kewenangannya ada di DPR dan pemerintah, ya…laksanakan saja itu undang-undang tersebut dan tidak perlu mewacanakan terkait dengan soal memajukan atau memundurkan pilkada,” tegas legislator dari daerah pemilihan Jawa Barat VII (meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Purwakarta) ini.
“Kita dihadapkan dengan wacana yang dibuat oleh para penyelenggara tentang memajukan atau memundurkan itu membuat ketidakpastian kembali dan juga akan menimbulkan sebuah kegaduhan, karena penyelenggara yang harusnya melaksanakan undang-undang, tapi dia masuk keranah yang bukan menjadi kewenangannya,” sesalnya.
Senada dengan itu, Pengamat Politik Siti Zuhro mengatakan wacana penundaan atau pengunduran pilkada justru menambah ketidakpastian baru, apalagi diucapkan penyelenggara pemilu yang tugasnya itu hanya menyelenggarakan dan melaksanakan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang dan peraturan yang ada.
“Itu saja domainnya, tidak menciptakan wacana, tidak menciptakan perdebatan-perdebatan terkait dengan semua tahapan pemilu dan penyelenggaraan pemilu, seharusnya seperti. Itu baru kita sebut dengan profesional,” kata Wiwik, panggilan akrab Siti Zuhro.
Wiwik yang juga Peneliti Utama BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) menegaskan penyelenggara profesional adalah penyelenggara yang tidak bermain politik praktis.
Soal bermain politik para penyelenggara pemilu ini, Wiwik memberi catatan bahwa sejak awal penyelenggara pemilu melaksanakan tugasnya, menurutntya memang telah menciptakan satu respon-respon yang tidak positif.
Dia mencontoh, dalam tahapan-tahapan yang diikuti oleh partai politik, menunjukkan bahwa ternyata semua keputusan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, menimbulkan resistensi dan bahkan harus dilakukan uji publik yang menurutnya sangat luar biasa perilakunya.
“Tidak hanya sekali dua kali, terus-menerus, maka untuk selanjutnya tolong KPU RI, Bawaslu RI termasuk DKPP yang akan menyelenggarakan sidang-sidang kode etik dan sebagainya itu patuhilah peraturan,” tegasnya.
Dia juga memberikan kritik soal pemilu serentak ini yang dianggapnya sebagai pekerjaan borongan.
“Kita sedang akan menyelenggarakan pemilu serentak, pemilu legislatif, eksekutif atau pilpres dan Pilkada yang tidak mudah.
Ini pemilu borongan tahun 2024. Sejak awal kita sudah wanti-wanti, mbok jangan melakukan pemilu borongan, tapi kan jadi dengar. Kita mintakan revisi undang-undang, paket politik, nggak didengar juga,” sindirnya.
Ke depan, Wiwik menegaskan agar KPU dan Bawaslu tidak lagi berupaya berwacana mencoba mengutak-atik UU yang telah disepakati bersama.
“Jadi dalam konteks penundaan pilkada menurut saya jangan coba-coba lagi mengotak-atik hal yang sudah jalan.
Jangan diberikan lagi ketidakpastian apalagi partai tadi itu, partai saja puyeng, menyiapkan pileknya puyeng, membangun koalisi puyeng, karena PT nya tinggi,” tegasnya.
Praktisi Media, Friederich Batari juga menyampaikan pendapat sama. Dari amatannya, meski disampaikan dalam diskusi internal tertutup yang diselenggarakan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) namun wacana yang diusulkan Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja secara tidak langsung telah mengkooptasi kewenangan pemerintah maupun DPR sebagai pengambil kebijakan atau pembuat UU.
Sementara Bawaslu atau KPU selaku penyelenggra yang seharusnya taat azas melaksanakan perintah undang-undang yang dibuat pemerintah dan DPR.
Hambatan apapun yang digunakan KPU dan Bawaslu seperti gangguan keamanan, data pemilih, pengadaan dan distribusi logistik Pilkada termasuk surat suara, mestinya sudah diidentifikasi.
Fredy menyatakan, sejauh ini belum dapat memastikan apa motif sesungguhnya wacana yang dilontarkan Ketua Bawaslu yang meminta dilakukan penundaan pilkada 2024.
“Saya menduga ini sengaja dilontarkan supaya menjadi diskursus di tingkat publik dan kalau memang tingkat penerimaan itu direspon dengan baik, maka benar-benar akan terjadi penundaan pemilu dan bukan tidak mungkin situasi peta politik nasional juga akan berubah dan pemilupun bisa saja misalnya itu pra kondisi untuk wacana penundaan,” ungkap Fredy.(rms)