MEDAN ( Berita ) : Wacana yang sudah mulai dimunculkan terkait masa jabatan Presiden tiga periode, dinilai merupakan kemunduran bagi demokrasi Indonesia.
Mumpung baru sebatas wacana, Pengamat Politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Dr. Arifin Saleh Siregar, menyarankan sebaiknya pernyataan itu dihentikan.
Berbicara kepada Waspada, Senin (15/3), Arifin Saleh Siregar mengungkapkan rasa prihatinnya melihat ada juga wacana tentang jabatan Presiden menjadi tiga periode dimunculkan. Karena hal itu merupakan kemunduran bagi demokrasi diIndonesia.
Dikatakan Dekat FISIP UMSU tersebut, jabatan Presiden tiga periode akan lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya.
Bukan saja membuat biaya politik akan menjadi lebih mahal, tapi juga akan merusak sistem dan banyak yang harus diganti. ‘’Bahkan berpotensi dicemooh dunia interna-sional,” katanya.
Dampak lain, sambungnya, periodeisasi jabatan kepala daerah, juga bisa berubah menjadi tiga periode.
Lebih jauh, kata Arifin Saleh,wacana ini juga berpotensi menimbulkan kekuasaan yang tidak terbatas, dan menyuburkan praktik kolusi dan nepotisme.
“Jadi diminta semua pihak, terutama partai politik untuk sadar dan menahan diri dengan tidak melanjutkan wacana dan isu tiga periode jabatan Presiden ini,” tegasnya.
Arifin mengajak semua pihak untuk lebih fokus untuk hal-hal yang lebih krusial dan meyangkut harkat hidup orang banyak.
Karena menurutnya, masih banyak wacana strategis yang bisa dibahas di ruang publik dalam rangka mensejah-erakan masyarakat.
Dia menganggap, sejuah ini tidak ada urgensi mengenai penambahan masa jabatan Presiden.
”Karena itu, sebaiknya hentikan saja wacana ini. Lebih baik elit politik membahas bagaimana mensejahterakan rakyat, “ kata Arifin Saleh.
Kepentingan Sesaat
Sementara itu, di tempat terpisah Pengamat Hukum dan Tata Negara Universitas Sumatera Utara (USU), Dr. Faisal Akbar mengatakan, usulan perubahan Amandemen UUD 45 secara hukum dan politik sah-sah saja, tapi harus dilihat arah dan tujuannya. Kalau hanya sebatas kepentingan politik sesaat, sebaiknya ditunda.
Faisal Akbar mengatakan, jangan lupa bahwa jabatan Presiden dua periode adalah gerakan reformasi mengobati masa kelam Indonesia dalam menata demokrasi, terkait masa jabatan Presiden yang tidak diatur secara tegas saat itu.
“Banyak kenangan pahit harus diingat atas ketidak jelasan pengaturan masa jabatan Presiden ketika itu. Di mana demokrasi Indonesia terpuruk dikuasai otoritarianisme.
Tentu bangsa ini tidak ingin kembali ke masa kelam itu,” kata Faisal Akbar. Karena itu, menurutnya, ide masa jabatan Presiden tiga periode harus dipertimbangkan secara matang.
”Ide ini harus ditelisik secara mendalam untuk kepentingan siapa ? Apa urgensinya saat ini ? Semua harus jelas, jangan sampai kita pertaruhkan masa depan bangsa hanya untuk hasrat politik sesaat,”pintanya.
Dia juga mengingatkan,salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya sirkulasi kepemimpinan yang terjaga.
Memastikan setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. (WSP)













