ASAHAN (Berita) : Seorang nenek bernama Tukinem berusia lebih seratus tahun, bahkan versi keluarganya diyakini mencapai 105 tahun, karena Tukinem dibawa ke Sumatera oleh bibinya, Jakinah dari Trenggalek Jawa Timur tahun 1925, ketika itu usianya sekitar 5 tahun.
Jakinah adalah merupakan istri dari Saguan mandor satu kebun PT. Lonsum Gunung Melayu yang tidak memiliki anak. Namun, jika dilihat dari Kartu Keluarga (KK) yang dimilikinya, Tukinem lahir pada 25 April 1927.
Menurut Mardiah, PNS yang menjabat Korwil Dinas Pendidikan Kecamatan Aek Kuasan selaku anak ke tujuh dari Tukinem, ibunya di usia remaja dijodohkan dengan seorang pria lajang bernama Karni yang merupakan buruh kontrak di kebun Lonsum.
“Emak saya dulunya wanita karier, karena dikenal satu-satunya penjahit pakaian wanita di tempat tinggalnya di Desa Aek Nagaga. Selain itu, emak juga jualan sembako, juga jualan pecal, kueh dan es cendol keliling kampung. Namun berkat kegigihannya itu kami semua anaknya bisa sekolah”, ungkap Mardiah.
Uniknya, kata Mardiah, mengukur baju yang akan dijahit ibunya tidak pernah menggunakan meteran, karena kala itu tidak ada meteran pengukur baju, melainkan dengan jengkalan ujung jari kelingking dengan ujung ibu jari, tetapi hasilnya tidak pernah meleset dan sesuai ukuran yang diinginkan.
Menurut nek Tuminem suaminya meninggal dunia tahun 1977 di rumah sakit katarina, sejak itu dan pindah ke Desa Sengonsari dan anak-anaknya sudah bekerja ia tak lagi menjahit dan tidak lagi berjualan, Dan ibunyapun memilih tinggal bersama anaknya nomor 6 (Marsyid) di Desa Sengon Sari.
Ditemui wartawan di rumahnya, Dusun I Desa Sengonsari, Minggu (9/11/25) Tuminem tidak tahu dengan pasti tanggal dan tahunnya dilahirkan. Nenek Tuminem sudah memiliki banyak cucu, cicit, bahkan canggah.
“Seingat saya datang ke Sumatera ini dibawa oleh lelek (bibi) tahun 1925, usia saya masih 5 tahun”, ucap Tukinem
Kata Marsyid, ibunya Tuminem sudah satu kali naik haji atas biaya anak ke tiganya H. Syukur, namun ibunya tidak mau namanya diipanggil bu atau nek haji, alasannya tidak mau pamer gelar.
Mempunyai usia panjang hingga 100 tahun hal yang langka sehingga Tukinem sering dikaitkan dengan kisah-kisah inspiratif seolah dirinya memiliki “pegangan” (gaib). Padahal tidak, kuncinya sholat lima waktu tak pernah tinggal dan berdoa diberi umur panjang dan anak-anaknya dikabulkan apa yang diinginkannya. Satu hal lagi, setiap sholat nenek Tukinem tetap mandi dahulu agar tubuhnya tetap segar dan sehat.
“Ada yang datang kemari minta pegangan, yang ada tongkat, kalau diminta tongkatku jadi kalau jalan aku kayakmana”, kata nenek Tuminem sembari menunjukkan sebuah tongkat kayu bekas gagang sapu yang ujung bawahnya dibalut karet agar tidak licin.
Sebenarnya, kata Marsyid, ada dua buah tongkatnya yang terbuat dari besi ringan dibelikan oleh anak dan cucunya, tetapi tidak mau memakainya, hanya tongkat kayu bekas sapu saja dia mau membawanya kemana dia pergi.
“Kalau berjalan emak agak membungkuk, karena pernah jatuh saat mau duduk di tempat tidur, punggungnya terhempas ke lantai, sehingga tulang punggungnya patah, dan oleh cucu menantunya dr. Ibnu Yazid Shabri di rujuk ke rumah sakit Medan, dan terpaksalah dioperasi”, ungkap Marsyid.
Menurut Marsyid, ia berpendapat usia ibunya panjang karena makanannya yang bergiji, sayur, ikan, tempe, dan tidak pernah makan ayam potong, apalagi yang instan-instan. Tetapi makanan yang paling digemarinya adalah soto ayam kampung, perkedel, dan es cendol dawet.
“Sejak jatuh kesehatan emak menurun, keluar rumahpun sudah jarang, lebih banyak rebahan di tempat tidur kamarnya. Kalau jalan ke depan rumah atau di kamar mandi terpaksa harus dibantu istri saya yang rajin mengurusinya.
Nenek Tuminem di usianya yang sudah renta masih memiliki pendengaran dan daya ingat serta pandangan mata yang terang meskipun tanpa menggunakan mata.
“Belakangan ini pandangan matanya sebelah kananan dikeluhkan kabur, mungkin pengaruh dari kesehatannya yang menurun, ungkap Marsyid.
Marsyid mengisahkan dari 8 orang anak nenek Tukinem ada dua orang yang sudah meninggal dunia. ” Anak pertama sebelum meninggal sempat menjadi asisten di PT. Lonsum Gunung Melayu, dan anak kedua menjadi mandor satu”, ungkapnya.
Disinggung bantuan dari Pemerintah untuk nenek Tuminem, sejauh ini tidak pernah mendapat, kemungkinan karena yang mendapat Marsyid yang mengurusi ibunya itu.
“Kalau emak tidak mendapat, saya yang dapat, karena mungkin saya yang mengurusi orang tua saya ini”, tandas Mursyid. (min)













