SDA Andalan Utang, Investasi Dan Korupsi

  • Bagikan
Akedemisi Politik dan Sosial Shohibul Ansori Siregar
Akedemisi Politik dan Sosial Shohibul Ansori Siregar

MEDAN (Berita) : Meski rezim berganti, tanggung jawab pembayaran utang andalannya tetap sama yakni sumber daya alam (SDA).

Karena semua rezim pemerintahan hanyalah sejumlah orang yang diberi mandat memerintah termasuk mengambil kebijakan membuat utang.

Pada dasarnya, baik negara pengutang maupun pemberi utang sadar betul bahwa yang dihitung untuk kesepakatan itu tidak lain adalah potensi utama satu negara.

Demikian Akedemisi Politik dan Sosial Shohibul Ansori Siregar kepada Berita, Kamis, (25/3) menyoal beberapa pendapat para ekonom terkait hutang pemerintah Indonesia yang terus bertambah.

Tanggung jawab siapa, baik hutang, investasi dan korupsi, sudah pasti sumber daya alamlah yang menjadi taruhannya dan hal itu sudah menjadi kesepakatan, tegas Shohibul.

Kembali kita merujuk utang Indonesia yang disepakati pada perjanjian Meja Bundar dengan Belanda yang dicicil hingga selesai pada tahun 2003 pada zaman Soeharto.

Padahal, kesepakatan itu dibuat oleh delegasi Indonesia pada tahun 1948, contoh Shohibul.

Kita kembali mengkaji temuan Muhammad Ali, Lubna Khan, Amna Sohail dan Chin Hong Puah tahun 2019 yang meneliti dampak dari hubungan bantuan luar negeri dan timbulnya kasus korupsi.

Dalam penelitian mereka berjudul “The Relationship Between Foreign Aid And Corruption: A Case Of Selected Asian Countries”.

Foreign Aid, (FA) atau bantuan asing memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index, CPI).

Begitu FA meningkat, CPI menurun. Itu artinya, negara akan semakin korup dengan kehadiran bantuan asing (FA) tersebut, ungkap Shohibul.

Lebih jauh Shohibul mengatakan, hal ini setidaknya dimungkinkan oleh dua hal utama. Pertama, tata kelola yang buruk dan penyalahgunaan FA di negara penerima.

Sebagaimana sebelumnya oleh banyak ahli seperti Qayyum (2014) dan lain-lain telah pernah mengingatkan akan dampaknya.

Kedua, lanjutnya ,terdapat kemungkinan luas bahwa uang FA itu selain memang jelas meningkatkan pendapatan pemerintah dan terutama digunakan untuk alasan strategis, tetapi FA itu sendiri mengabaikan jawaban atas kebutuhan nyata.

Melalui cara inilah kegagalan pemerintah untuk menyediakan barang publik dapat menjadi penyebab signifikan atas fenomena meningkatnya korupsi, nilai Shohibul.

Investasi dan Korupsi

Sedangkan untuk investasi dan korupsi, yang diakibatkan hubungan bantuan luar negeri tersebut, kata Shohibul, para ahli lain seperti Tanzi (1998) telah lama memperingatkan bahwa kondisi di negara berkembang memiliki kekhususan tersendiri dalam budaya, demokrasi dan politiknya, yang begitu akrab dengan korupsi.

Karena itu menurut saya meningkatkan proyek investasi dan peningkatan ukuran pemerintahan selalu dapat bermakna mendorong lebih banyak korupsi, ucap dosen Fisip UMSU ini.

Kita juga masih ingat rekomendasi dari Muhammad Ali, Lubna Khan, Amna Sohail dan Chin Hong Puah (2019) adalah agar perwakilan publik memastikan peningkatan kapasitas dan keterbukaan dalam lingkungan kelembagaan dan tata kelola FA (DPR, Organisasi Sosial Kemasyarakatan, LSM, Kampus, dan lain-lain).

Memang, pendonor selalu mengasosiasikan FA dengan kualitas kelembagaan di negara penerima, tetapi karena motif politik mereka terbukti merasa tidak harus mengatur mekanisme begitu teknis untuk pemantauan uang bantuan dalam hal kinerja dan tata kelola lembaga secara berkala untuk memberantas korupsi.

Ketua Lembaga Hikmah Dan Kebijakan (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut ini juga mengungkapkan, bahwa Dana Moneter Internasional (IMF, 2005) mencatat bahwa kelemahan tata kelola negara-negara penerima FA dalam mempromosikan lebih banyak pembangunan dan infrastruktur adalah masalah besar di negara berkembang.

Lalu, lanjut Shohibul, Bank Dunia (tahun 2006), yang kemudian merumuskan indikator tata kelola yang mencakup berbagai variabel untuk mengukur kualitas kelembagaan dengan menggunakan sekitar 350 indikator yang diambil dari sejumlah lembaga di seluruh dunia.

Namun, perbaikan pengelolaan FA belum sebaik yang diharapkan, ungkap Shohibul

Kita kembali melihat beberapa catatan lain dari Muhammad Ali, Lubna Khan, Amna Sohail dan Chin Hong Puah (2019) yang perlu diperhatikan ialah kegagalan rezim dalam mempertahankan stabilitas politik, menaikkan upah, mengurangi ketimpangan pendapatan dan menerapkan supremasi hukum untuk mengurangi tingkat korupsi, pungkas Shohibul. (lin)

 

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *