JICF Ke 3, Kualitas Persaingan Usaha Nasional Mutlak Memerlukan Reformasi Regulasi

  • Bagikan

JAKARTA (beritasore.co.id): Di tengah dinamika ekonomi global yang menuntut adaptabilitas tinggi, kualitas persaingan usaha di Indonesia menghadapi tantangan krusial.

Deswin Nur, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebutkan dalam siaran persnya diterima melalui Kepala Kanwil I KPPU Ridho Pamungkas Jumat (12/12/2025).

Bukan sekadar penegakan hukum, melainkan bagaimana ekosistem regulasi mampu menjadi katalis bagi mengatasi hambatan usaha dan kemudahan investasi.

Kesimpulan ini menjadi sorotan utama
dalam gelaran The Third Jakarta International Competition Forum (JICF) yang
diselenggarakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kamis (11/12/2025) di Jakarta.

Forum internasional ini menegaskan bahwa pendekatan konvensional dalam pengawasan persaingan usaha tidak lagi relevan jika berjalan sendiri-sendiri. JICF ke 3 menghasilkan konsensus strategis: peningkatan kualitas persaingan usaha nasional mutlak memerlukan reformasi regulasi, kolaborasi lintas lembaga, dan optimalisasi teknologi informasi untuk pencegahan.

“Kita menyimpulkan bahwa peningkatan kualitas persaingan usaha nasional perlu didukung perubahan regulasi yang berorientasi pada pemberantasan
hambatan masuk usaha atau bottleneck dan kemudahan investasi, serta membutuhkan
collaborative efforts dan optimalisasi teknologi informasi lintas lembaga,” tegas Wakil Ketua KPPU, Aru Armando pada penutupan kegiatan.

Sorotan pertama tertuju pada tumpang tindih regulasi yang kerap menjadi “biaya tinggi” bagi pelaku usaha. Regulasi di bidang ekonomi ke depan tidak boleh lagi menjadi penghambat (barrier to entry), melainkan harus bertransformasi menjadi kerangka kerja yang
menjamin kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi.

Perubahan regulasi ini harus bergeser dari pendekatan yang bersifat rigid menjadi lebih adaptif terhadap model bisnis baru.

Tujuannya jelas, untuk menciptakan lapangan bermain yang setara (level playing field) bagi
pendatang baru maupun pemain lama, sehingga inovasi dapat tumbuh tanpa terganjal aturan yang kedaluwarsa.

Poin krusial kedua adalah urgensi collaborative efforts. Persaingan usaha adalah isu multidimensi yang tidak bisa diselesaikan oleh KPPU sendirian.

JICF ke-3 menggarisbawahi bahwa sekat-sekat antilembaga atau ego sektoral harus diruntuhkan. Sinergi antara otoritas persaingan, kementerian teknis, dan pemerintah daerah menjadi kunci.

Kebijakan di satu sektor tidak boleh mendistorsi pasar di sektor lain. Kolaborasi ini diperlukan untuk menyelaraskan kebijakan ekonomi makro dengan prinsip persaingan usaha yang sehat, memastikan bahwa setiap kebijakan publik yang lahir benar-benar berorientasi pada kesejahteraan umum, bukan kepentingan segelintir kelompok.

Terakhir, forum ini menyoroti peran vital teknologi informasi. Di era ekonomi digital,
pengawasan manual tak lagi memadai. Optimalisasi teknologi lintas Lembaga untuk
memperkuat pencegahan, khususnya dalam pencegahan kolusi di pengadaan publik, akan
menciptakan sistem deteksi dini (early warning system) terhadap perilaku antipersaingan.

Pemanfaatan teknologi bukan sekadar digitalisasi dokumen, melainkan interoperabilitas data antar-instansi pemerintah. Transparansi data ini akan memangkas celah persekongkolan
tender maupun praktik kartel yang selama ini merugikan konsumen dan menghambat efisiensi ekonomi nasional.

Melalui JICF ke-3, KPPU mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk melihat
persaingan usaha bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai mekanisme untuk
menyehatkan struktur pasar.

Pasar yang sehat akan melahirkan harga yang kompetitif, kualitas produk yang lebih baik, dan ragam pilihan bagi konsumen. Reformasi ini adalah langkah strategis untuk memastikan Indonesia tidak terjebak dalam ekonomi biaya tinggi dan siap berkompetisi di kancah global. (wie)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *