Oleh: Putra Rizki – Analis Yunior KPwBI Provinsi Sumatera Utara & Fadia Maghfirazmi Putri – Pemerhati Ekonomi & Keuangan Syariah
SEBAGAI provinsi dengan penduduk mayoritas Muslim dan basis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang besar, Sumatera Utara memiliki potensi strategis dalam mengembangkan industri halal yang berdaya saing.
Kebutuhan masyarakat terhadap produk yang terjamin kehalalannya, baik dalam bentuk pangan, obat-obatan, kosmetika, maupun produk guna pakai, kini tidak hanya berakar pada keyakinan agama, tetapi juga telah menjadi bagian dari nilai sosial, budaya, dan etika bisnis lokal.
Dalam konteks ini, sertifikasi halal bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan instrumen penting untuk membangun kepercayaan konsumen, memperluas akses pasar, dan memperkuat daya saing ekonomi daerah yang berorientasi pada nilai serta keberlanjutan.
Sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), Indonesia menegaskan komitmennya untuk membangun sistem jaminan halal yang terstruktur dan berintegritas.
Melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama, pemerintah berperan sebagai regulator sekaligus fasilitator utama dalam memastikan produk yang beredar memenuhi prinsip halalan thayyiban.
Transformasi kelembagaan BPJPH menjadi lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 153 Tahun 2024 memperkuat mandat dan independensi lembaga tersebut dalam penyelenggaraan sistem jaminan produk halal di Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, BPJPH bersinergi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai otoritas keagamaan, serta Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang bertanggung jawab terhadap proses audit dan verifikasi produk.
Di Sumatera Utara, keberadaan LPH LPPOM MUI Sumut, LPH Sucofindo, LPH Surveyor Indonesia, LPH Inspirasi Halal Indonesia, dan LPH BSPJI Medan menjadi simpul penting dalam memperpendek rantai layanan sertifikasi halal melalui penyediaan auditor bersertifikat dan mekanisme pemeriksaan yang lebih efisien.
Meski kerangka kebijakan telah terbentuk dengan baik, implementasi sertifikasi halal di daerah masih menghadapi sejumlah tantangan. Kajian dan survei menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM di Sumatera Utara belum sepenuhnya memahami urgensi sertifikasi halal bagi pengembangan usaha mereka.
Hambatan umum yang muncul antara lain keterbatasan literasi halal, persepsi biaya yang tinggi, kompleksitas dokumen, serta waktu proses yang dianggap panjang. Padahal, berbagai studi membuktikan bahwa sertifikasi halal memiliki korelasi positif terhadap peningkatan pendapatan dan kepercayaan konsumen.
Produk bersertifikat halal cenderung lebih mudah menembus pasar modern, platform digital, hingga jaringan ekspor karena dianggap memenuhi standar keamanan, kualitas, dan kepatuhan yang diakui secara global.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah meluncurkan program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) bagi pelaku UMKM melalui skema self declare. Program ini memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk memperoleh sertifikat halal tanpa biaya, sekaligus meningkatkan kesadaran dan literasi halal melalui pendampingan Proses Produk Halal (PPH).
Pelaksanaan program SEHATI menjadi momentum penting dalam mendorong inklusivitas sistem halal nasional. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada ketersediaan pendamping halal yang kompeten, kemitraan lintas lembaga antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, asosiasi usaha, dan lembaga keuangan, serta dukungan sistem digital terintegrasi seperti SIHALAL untuk mempercepat proses verifikasi dan meningkatkan transparansi layanan.
Selain itu, kewajiban sertifikasi halal untuk produk makanan dan minuman (mamin) skala usaha mikro dan kecil akan mulai diberlakukan pada tanggal 18 Oktober 2026, sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk
Halal, sehingga pelaku UMKM perlu bersiap sejak dini agar dapat memenuhi ketentuan tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, Bank Indonesia turut mengambil peran strategis sebagai katalisator dalam penguatan halal value chain di daerah. Melalui berbagai program pengembangan ekonomi syariah, Bank Indonesia mendorong keterhubungan antara aspek produksi, pembiayaan, dan pasar.
Pendampingan UMKM halal, pembentukan halal center dan Zona Kuliner Halal Aman dan Sehat (KHAS), fasilitasi business matching, serta dukungan terhadap pengembangan Halal Hub menjadi bagian dari komitmen Bank Indonesia dalam memperkuat rantai nilai halal dari hulu hingga hilir.
Langkah ini sejalan dengan arah kebijakan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) sebagaimana tertuang dalam Masterplan Industri Halal Indonesia 2023–2029, yang menekankan pentingnya penguatan ekosistem halal nasional sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru yang inklusif dan berkelanjutan.
Potensi Sumatera Utara dalam akselerasi sertifikasi halal semakin besar jika melihat struktur ekonomi daerah yang didominasi oleh sektor kuliner, pariwisata, dan perdagangan. Basis UMKM kuliner di Medan dan sekitarnya, dukungan terhadap pengembangan pariwisata ramah Muslim di kawasan Danau Toba, serta keberadaan infrastruktur pemeriksa halal seperti LPH BSPJI Medan menjadi fondasi penting dalam memperluas penerapan sertifikasi halal di tingkat lokal.
Di sisi kebijakan, komitmen 33 pemerintah kabupaten/kota dalam memfasilitasi sertifikasi halal menandakan konsolidasi arah pembangunan daerah menuju ekosistem halal yang lebih matang dan terkoordinasi.
Sertifikasi halal pada akhirnya bukan sekadar label atau simbol keagamaan, melainkan representasi nilai dan kualitas.
Label halal memberikan jaminan bahwa proses produksi, bahan baku, serta tata kelola usaha telah memenuhi standar yang terverifikasi. Bagi pelaku usaha, sertifikasi halal menjadi tiket untuk menembus pasar yang lebih luas, baik domestik maupun internasional.
Sementara bagi konsumen, sertifikasi halal memberikan rasa aman, kepercayaan, serta perlindungan atas hak mereka untuk memperoleh produk yang sesuai dengan keyakinan dan standar keamanan.
Dengan demikian, penguatan sertifikasi halal di Sumatera Utara bukan hanya tentang kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga strategi pembangunan ekonomi berbasis nilai. Sinergi antara pemerintah, lembaga sertifikasi, dunia usaha, akademisi, dan Bank Indonesia menjadi kunci utama dalam memastikan bahwa sertifikasi halal tidak berhenti pada simbol administratif, melainkan menjelma menjadi motor penggerak ekonomi halal yang inklusif, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Jika konsistensi ini terjaga, Sumatera Utara berpotensi menjadi salah satu episentrum ekonomi halal nasional yang tangguh dan bernilai tambah bagi Indonesia. (***)













