MEDAN (Berita)- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara (Sumut), bersama Green Justice Indonesia (GJI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Kenduri Kopi dan The Bamboes membuat kegiatan bertajuk Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2023 yang berlangsung di Taman Budaya Medan, Rabu (27/12/2023).
Kegiatan ini membahas permasalahan lingkungan dari tahun ke tahun yang tak kunjung usai di Sumatera Utara, baik itu persoalan hukum dan lainnya.
Dewantoro selaku ketua Panitia menyampaikan, ini merupakan kegiatan akhir tahun yang diadakan rutin oleh kawan-kawan CSO.
Kegiatan ini menyoroti permasalahan lingkungan yang masih terjadi di Sumatera Utara selama satu tahun ini, melihat dari tahun sebelumnya.
“Tujuannya kita ingin mengingatkan kembali bahwa Sumatera Utara tidak pernah lepas dari permasalahan lingkungan. Nah, tahun ini kan tahun politik ya, disini ada banyak kontestasi, harapannya persoalan lingkungan ini menjadi pembahasan bagi mereka yang berkontestasi,” ujarnya.
Disampaikannya, jika persoalan lingkungan ini dilupakan sedemikian rupa, maka kita tidak punya harapan bahwa persoalan lingkungan menjadi perhatian lebih kemudian diambil kebijakan.
“Dalam kegiatan ini kita juga ada pameran foto, tidak hanya dari Medan, juga ada yang hadir dari Aceh,” katanya.
Foto yang dipamerkan mulai dari potret hutan Batang Toru, Orang Hutan Tapanuli, dan kemudian juga ada jerat seling yang biasa digunakan sebagai jerat babi, namun tak jarang satwa terlindungi lah yang menjadi korbannya.
Lalu, ada potret masyarakat Simardangiang, mereka ini menjaga lingkungan atau hutan disekitarnya dengan kearifan lokal yang dimiliki.
“Jadi, mereka sebenarnya dengan kearifan lokalnya masih bisa hidup, tanpa harus merusak hutan. Nah, fakta yang selama ini terjadi kerusakan berasal dari luar,” jelasnya.
Dikatakannya saat ini masyarakat yang tinggal disekitar hutan, selama berabad-abad dan terbukti mampu mengelola lingkungan dengan baik, tidak mendapat perhatian lebih.
Dalam acara diskusi sebagai narasumber Rianda Purba (Direktur Eksekutif walhi Sumut), Dana Prima Tarigan Green Justice Indonesia (GJI), Riski Cahyadi (PFI Medan), dan Jessica Helena Wuysang (LKBN Antara) melalui Zoom.
“Narasumber Jesika Elena Wuisang, fotografer dari LKBN Antara Pontianak, dia banyak mengulas bangaimana persoalan yang ada di Kalimantan Barat, mulai dari orang hutan, pertambangan dan sebagainya, sementara Risky Cahyadi jurnalis foto dan juga ketua PFI Medan lebih mengulas tentang kerusakan alam hutan kawasan Danau Toba hingga menimbulkan bencana alam di Humbang Hasudutan beberapa waktu lalu,” kata Dewantoro.
Hasil diskusi ini menyimpulkan bahwa persoalan lingkungan yang terjadi di Sumatera Utara di tahun 2023 ini semakin memburuk, kenapa dikatakan demikian, karena masih banyaknya kejadian terulang.
“Artinya upaya yang ada selama ini belum memberikan dampak yang baik. Contohnya saja banjir ya, bukannya semakin sedikit malah semakin meluas, di Medan misalnya. Kemudian juga di akhir tahun makin banyak terjadi banjir, seperti di Bakara, di seputaran danau Toba, padahal itu kawasan strategi nasional yang harusnya mendapat perhatian lebih tidak hanya soal investasi,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba menyampaikan isu kerusakan lingkungan yang masih mengemuka di tahun 2023, masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Nah, yang menjadi sorotan tentunya bahwa pemerintah belum sama sekali memprioritaskan isu lingkungan untuk diselesaikan. Baik itu pemerintah Sumut maupun pemerintah pusat,” ujarnya
Hal ini juga menjadi tantangan, apalagi sekarang segala sesuatu terkait permasalahan lingkungan, permasalahan hutan dan sumber daya alam ditarik ke pemerintah pusat.
“Tidak ada lagi ruang bagi pemerintah daerah, dalam konteks ini pemerintah daerah juga diam. Seolah pemerintah hari ini tidak ada fungsi penyelenggara negara dalam konteks permasalahan lingkungan,” ungkapnya.
Keadaan tersebut memunculkan kekhawatiran, harus berapa banyak lagi korban yang hilang kehidupannya karena kerusakan lingkungan.
Kemudian, jelasnya dalam konteks penegakan hukum, banyak kasus yang dilaporkan ke pengadilan hukum contoh di kepolisian, kemudian masuk ke persidangan, namun tidak mendapat solusi apapun.
“Ada putusan-putusan hakim yang kemudian menghendaki untuk pemulihan lingkungan dan sebagainya itu juga tidak diindahkan, namun lagi-lagi ada beberapa hal dalam penegakan hukum yang lemah,” katanya.
Beberapa kelemahan dalam penegakan hukum sebutnya, yang pertama minimnya pengetahuan penegak hukum dalam hal ini hakim mengenai persoalan lingkungan hidup.
“Kedua, abainya lembaga negara yang mengatur persoalan lingkungan hidup untuk menindaklanjuti hasil putusan pengadilan. Itu yang menjadi persoalan utama dalam penegakan hukum soal lingkungan,” pungkasnya.(Zul)