MEDAN (Berita) : Akedemisi Politik dan Sosial Dr. Shohibul Ansori Siregar menilai dengan merebut Partai Demokrat tidak hanya menghilangkan kesempatan Agus Harimukti Yudhoyono (AHY) untuk bertarung di Pilpres mendatang.
Tetapi sekaligus memanfaatkan partai untuk mencalonkan figur lain dengan menjalin koalisi diantara partai yang ada yang juga menjadi persyaratan sesuai dengan rumus ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam Pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden atau disebut presidential Threshold
Demikian Shohibul Ansor menjawab Berita, Selasa,( 9/3) terpilihnya Moeldoko versi Kongres Luar Biasa (KLB) belum lama ini, merebut Partai Demokrat adalah sesuatu yang terkait dengan Pilpres 2024, ujar Shohibul.
Padahal sebelum KLB tersebut berlangsung di Sibolangit tanggal 5 Maret 2021, bulan lalu AHY berkirim surat kepada Presiden untuk meminta klarifikasi keterlibatan Moeldoko dalam kudeta yang gagal.
Pada zaman Orde Baru, lanjut Shohibul, tidak pernah ada orang pemerintahan yang secara langsung merebut partai.
“Jika Moeldoko orang Partai Demokrat maka Jokowi bisa bilang, itu urusan internal partai dan saya tidak bisa intervensi”,urai Shohibul.
Moeldoko adalah orang dekat Jokowi tak mungkin menafikan bahwa kejadian Sibolangit bukan sesuatu yang tak diketahui Jokowi.
Menurut Shohibul, apa yang terjadi dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat adalah peragaan nasional demokrasi dan kebudayaan politik Indonesia yang akan dinamai secara meyakinkan sesuai kepentingan masing-masing orang.
Dan dari keadaan ini, ungkap Shohibul, tentu di tengah masyarakat akan muncul dualitas yang serius tentang kejadian itu, dan menimbulkan berbagai pendapat dan pertanyaan, misalnya, siapa bilang ini bukan demokrasi dan siapa yang ngotot bilang sebaliknya ?
Lalu, siapa bilang pengambilalihan kepemimpinan partai ini sesuatu yang menentang nilai Pancasila dan siapa yang berkata sebaliknya ?
“Siapa yang akan berani bilang keterwakilan pikiran dan cita-cita Presiden Joko Widodo dalam peran Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko tidak untuk Indonesia lebih demokratis dan adil dan siapa yang akan berpendapat sebaliknya ?
Kemudian lagi, siapa yang akan berani bilang, pada gilirannya kelak, vonis pengadilan atas persengketaan dua kubu Partai Demokrat yang bertikai ini tidak mengacu supremasi hukum dan siapa yang berkeras mengatakan sebaliknya ?
Dan siapa yang berani bilang Indonesia bukan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dan siapa yang akan berpendapat sebaliknya ?,urai Shohibul
Kejadian ini terus menambah pertentangan masalah politik (polarisasi) yang sudah ada dan ketegangan itu tidak hanya menyangkut pada internal Partai Demokrat karena ia telah menjadi milik publik nasional dan juga internasional.
Tetapi yang pasti, bahwa dalam klaim-klaim yang dapat sangat merusak nalar, Indonesia telah terus berproses memastikan tanda-tanda demokrasinya yang menghindari nilai-nilai keadilan dan kejujuran.
Untuk menepis tuduhan buruk kepada Jokowi, maka sebaiknya Moeldoko diberhentikan dari jabatan KSP.
Kemudian, lembaga KSP itu pun perlu dibubarkan karena overlapping tugas dengan Setneg, Sekkab dan Kominfo, pungkas Shohibul.
Seharusnya Moeldoko juga dipanggil polisi dengan dugaan pelanggaran prokes. (lin)