MEDAN (Berita) : Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang juga Ketua Pemuda Tani Indonesia Sumut Muhammad Fadly Abdina SP.M.Si mengatakan, tingkat kesejahteraan petani di Indonesia masih sangat minim.
Akibatnya minat masyarakat dalam melakukan kegiatan usaha tani di sektor pekerja terus berkurang.
Padahal, setiap tahun kebutuhan pangan untuk penduduk di Indonesia terus bertambah. Itu artinya, hasil produksi pertanian sebagai ketahanan pangan harus bertambah dan terjaga,ujar Muhammad Fadly Ibdina kepada Berita, Selasa, (30/3) menyikapi jeritan nurani petani di lapangan.
Ibdina juga menyikapi pernyataan Bappenas yang mana proporsi pekerja disektor pertanian tiap tahunnya berkurang, bahkan di prediksi pada tahun 2063 tidak ada lagi profesi petani.
“,Pernyataan tersebut merupakan bentuk Otokritik kepada pemerintah. Berkurangnya minat masyarakat untuk melakukan kegiatan usaha pertanian disebabkan minimnya Kesejahteraan yang diperoleh petani selama ini.
Padahal, semakin bertambahnya waktu maka akan semakin bertambah kebutuhan pangan untuk masyarakat. Pemerintah harus menjawab hal ini, dengan apa ? yakni dengan melakukan berbagai kebijakan-kebijakan pertanian yang berpihak kepada petani dari hulu hingga hilir. Sehingga Dengan sendirinya jumlah petani indonesia dimasa mendatang akan semakin bertambah,harap Abdina.
Pembenahan
Ditanya upaya pembenahan yang dilakukan pemerintahan untuk ketahanan pangan Indonesia, menurut Abdina upaya yang dilakukan pemerintah sudah ada khususnya pada kebijakan produksi seperti Program Food Estate dan pendampingan petani melalui penyuluh pertanian dengan program Komando Strategis Pembangunan Pertanian (Kostratani)
Sedangkan yang masih minim saat ini program pemerintah ialah bagaimana peran pemerintah dalam menjamin akses pasar, harga dan akses pembiayaan kepada petani sehingga petani dapat bergeliat berusaha tani
Dan tak kalah pentingnya yaitu setiap komoditi yang dihasilkan mendapat jaminan untuk diserap pasar dengan harga yang layak dan menguntungkan,ucap Andini.
Kebijakan Food State
Disisi lain, lanjutnya,memang kebijakan Food Estate merupakan kebijakan produksi yang dilakukan oleh Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan melakukan penambahan luas areal pertanian pangan dengan memberikan dukungan input produksi kepada petani.
Namun menurut Andini, program Food Estate sejatinya melibatkan petani-petani kecil di daerah untuk dapat mendukung produksi pangan.
Oleh karena itu menurut kami pada Program Food Estate ini masih memerlukan dukungan dari berbagai pihak untuk melakukan pendampingan, penyuluhan, dan pembiayaan kepada petani peserta Food Estate dalam hal menjalankan aktivitas saha taninya,jelas Abdini.
Sedangkan untuk di pertanian di Sumatera Utara, Abdini menilai, secara konsep rencana kinerja sektor pertanian kita di sumut sudah baik dengan target pencapaian-pencapaian yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Seperti target pencapaian beberapa komoditi pangan yang antara lain, padi, jagung, kedele, semakin meningkat.
Kita contohkan seperti proyeksi padi pada 2020-2023 masing-masing 5.450.562, 5.559.573, 5.670.764, dan 5.784.180 ton GKG.
Meski sudah ada peningkatan, namun implementasi pelaksanaan dilapangan masih banyak yang harus diperbaiki seperti pemberian sarana bantuan input produksi dan mekanisasi pertanian yang sesuai dengan kondisi kebutuhan petani sehingga tepat sasaran.
Selain itu, harapan kita HKTI Sumut, Pemprovsu dapat ambil andil pada penyediaan akses pasar, harga, dan pembiayaan kepada petani,pungkas Andini.
Miris
Sebelumnya, Kordinator Wilayah (Korwil) Asosiasi Bisnis Development Service Indonesia (ABDSI) Sumatera Utara Yusman MA mengungkapkan, belum berpihaknya pemerintah kepada permasalahan petani di lapangan menyebabkan kesejahteraan petani masih miris.
Kehidupan petani masih miris dan dibutuhkan dukungan serta kepedulian pemerintah pada kehidupan para petani di Indonesia akan tetap miris, karena itu butuh dukungan dan kepedulian pemerintah guna mengatasi permasalahan mereka. Begitu juga dengan dukungan penta helix.
Dari hasil kajian kita dilapangan terutama kehidupan para petani yang umumnya di pesisir pantai sangat miris. Butuh perhatian untuk meningkatkan kehidupan para petani yang lebih layak.
Keberpihakan dan dukungan pemerintah merupakan faktor utama, ditambah dengan elemen lainnya. Dukungan penta helix, sebut Yusman, yaitu dukungan kekuatan pemerintah, komunitas rakyat/masyarakat, akedemisi dan media
Namun dalam hal ini peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pengelola anggaran tentu ini lah yang paling utama,sebut Yusman.
Menurut Yusman, permasalahan petani di lapangan belum tersentuh pemerintah. Di Sumut saja contohnya, khususnya daerah pesisir pantai hampir di semua daerah masih jauh dari harapan dan kita berharap keberpihakan ini menjadi perhatian pemerintah.
Kepemilikan lahan dipinggiran pantai misalnya, baik itu lahan pertanian atau hutan semua nya adalah milik para konglomerat. Yang punya hutan kaya, yang merampas hutan kaya.
Sementara petaninya, dari tahun ke tahun hidupnya tetap miskin bahkan rumahnya pun tidak layak huni,sebut Yusman.
Contohnya lagi, petani yang menanam padi, untuk lahan yang dikelolanya satu rante, lalu memanen padinya butuh waktu tiga bulan yang hasil penjualannya satu rante cuma Rp1 juta.
“Berarti, terang Yusman, penghasilannya hanya Rp300 ribu per bulannya. Inilah contoh mirisnya kehidupan petani kita.
Siapa yang salah? apakah pemerintah peduli melihat kondisi ini.
Menjadi pertanyaan kita apa peran pemerintah, seperti Bulog dan Dinas Pertanian, lembaga atau instansi lainnya seperti Kominfo untuk memberikan informasi. Apakah mereka melihat kondisi ini,sebut Yusman.
Ketika panen, harga turun, ketika mau nanam harga pupuk naik. Apa peran pemerintah, apakah mereka mengkaji dan meneliti ini?
“Selama petani masih bertanya berapa harga di agen untuk menjual produksinya,itu artinya, petani akan tetap miskin.
Ini hanya contoh kecil saja, karena itu kita berharap apa yang menjadi kebutuhan petani kita untuk menyelesaikan benang kusut tersebut butuh dukungan penta helik.
Yakni butuh dukungan kekuatan pemerintah sebagai pengelola anggaran, kekuatan komunitas masyarakat, dunia usaha dan kekuatan media untuk menyuarakan kehidupan miris petani kita,ujar Yusman.
Kita ABDSI hanya sebagai pendamping dan melakukan penelitian apa yang menjadi kesulitan yang dialami para petani kita di lapangan.
“Namun pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pengelola anggaran yang seharusnya melihat kondisi di lapangan dan menjawab apa yang menjadi kebutuhan petani kita.
Pendamping dan media hanya bisa menyuarakan apa yang dibutuhkan petani kita”,tutup Yusman. (lin)