MEDAN (Berita) : Lapangan Merdeka harus dimerdekakan, apalagi di lokasi itu untuk pertama kali pernah jadi tempat pembacaaan ulang Hari Kemerdekaan RI Oktober 1945 oleh Gubernur pertama Sumatera Utara.
Lapangan Merdeka yang berada di Jalan Pulau Pinang, Kelurahan Kesawan, Kecamatan Medan Barat, itu harus dimerdekakan, karena memiliki makna sejarah yang sangat berharga.
Sejarah yang perlu diketahui masyarakat, terkhusus para pejuang dan pahlawan yang memiliki kenangan khusus atas Lapangan Merdeka.
Permintaan itu disampaikan oleh para Akedemisi, Sulaiman Efendi, Shohibul Ansor, Komunitas Taman Selwa Kumar, Aliansi Masyarakat untuk Lapangan Merdeka Miduk Hutabarat, Forum Merdeka Surya Darma Haminangan Dalimunte dan Afriliya.
Shohibul Ansor kepada Berita, Rabu,(23/9) mengungkapkan, kita mengajak masyarakat Sumut untuk mengingat kembali makna dan arti sejarah tentang lapangan Merdeka yang merupakan salah satu bukti sejarah di Sumut.
Lapangan Merdeka untuk dimerdekakan juga atas inisiatif Ketua Kwarda Pramuka Sumut H Nurdin Lubis Dewan Harian Daerah Angkatan 1945 Dr H Eddy Sofyan.
Dua pekan lalu, di lokasi itu dilangsungkan sebuah pertemuan membahas keadaan dan bagaimana seharusnya Lapangan Merdeka diperlakukan,
Shohibul dan kawan-kawan yang terus berupaya selama ini tetap mendukung agar Lapangan Merdeka untuk dikembalikan sebagai sejarah.
Tidak seperti yang kita lihat belakangan ini bahkan sudah tertutupi tempat bisnis dan terkesan tidak memiliki aura sebagai lapangan yang bersejarah.
Jangan Sebut Merdeka Walk Sebagai Ikon kota Medan
“Jangan sebut Merdeka Walk sebagai Ikon kota Medan tapi telah menghilangkan makna sejarah yang sangat besar. “Saya dan teman-teman lainnya tetap sangat mendukung semua usul dan upaya “memerdekakan” lapangan merdeka,” ucap Shohibul.
Pihaknya tidak ingin menghalangi orang untuk berbisnis, tapi bukan berarti menghilangkan makna sejarah.
“Apalagi Lapangan Merdeka memiliki rentetan sejarah yang sangat panjang,” ucap Shohibul
Dukungan untuk memerdekakan Lapangan Merdeka juga usulan itu atau inisiatif datang “organisasi yang mewakili generasi yang dahulu bergerak membebaskan Indonesia (DHD 45)” dan “organisasi mapan yang mewakili sistem sosial yang mempersiapkan masa depan bangsa (Pramuka)”.
Shohibul dan pendukung lainnya menyimpulkan dan telah melakukan kajian serta harapan bahwa, jangan sampai ada fenomena tuna sejarah.
Lapangan adalah bidang yang lapang selapang-lapangnya tanpa gedung-gedung, bangunan dan semisalnya. Lapangan pun tak perlu pagar;
Lalu kata Shohibul, dari kajian secara tekhnik pengembangan lapangan Merdeka diusulkan untuk dibangun tiga level ke bawah.
Seperti di beberapa negara lainnya seperti Singapura dan berbagai kota di dunia tentu ini juga akan menjadi daya tarik kota Medan.
Terowongan
Dengan membangun terowongan ke bawah nantinya, di sanalah para pebisnis bergairah itu berusaha, dan masyarakat juga bisa berbagi ruang untuk kesesamaan di sana.
Satu level di antaranya menjadi lahan parkir. Sedangkan terowongan dilevel selanjutnya, bisa dibangun terowongan menembus ke kantor Walikota, DPRD Kota, DPRD Sumut, Kantor Gubsu dan bangunan-bangunan publik lain di sekitarnya. Juga menembus pintu tol terdekat, Lalu, lapangan Merdeka itu milik rakyat, bukan milik pemerintah.
Sekiranya Indonesia bernasib sial hingga nanti mengalami penjajahan lagi oleh Portugis atau Belanda atau Jepang atau nanti bahkan China, maka pemerintahan yang mereka bentuk pun tidak berhak mengklaim lapangan merdeka,jelas Shohibul
Pemko Medan,lanjut Shohibul, semestinya segera menerbitkan keputusan yang mendaulat status lapangan merdeka sebagai cagar budaya;
‘Kita juga meminta kepada pengusaha yang sekarang menikmati kemakmuran atas keanggunan Lapangan Merdeka itu, agar kita sama-sama membangun jiwa dan raga bangsa.
Esplanade nama awal lapangan Merdeka itu warisan sejarah yang sarat nilai perjuangan harus kita kembalikan’, tutup Shohibul. (lin)