Kepercayaan Medsos Jauh Lebih Tinggi dari Pers

  • Bagikan

MEDAN (Berita): Wartawan dalam menulis berita harus lebih hati-hati, termasuk dalam mengutip berita dari sumber lain karena saat ini kepercayaan media sosial (Medsos) jauh lebih tinggi dari pers.

Hal itu diungkapkan Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Profesi Dewan Pers, Paulus Tri Agung Kristanto pada acara pelatihan wartawan yang digelar Dewan Kehormatan Provinsi Persatuan Wartawan Indonesia (DKP PWI) Sumatera Utara di hotel Grand Inna Medan Senin (11/12) yang berlangsung hingga Selasa (12/12).

Acara itu dibuka Asisten Administrasi Umum Setdaprovsu Ir Lis Andayani Siregar mewakili Pj Gubernur Sumut. Dihadiri Ketua DKP Sumut M Syahrir dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumut H Farianda Putra Sinik. Pesertanya dari pengurus PWI Sumut, pengurus DKP Sumut, Ketua dan Sekretaris PWI kabupaten/kota di Sumut. Selain Paulus, narasumber lainnya Ketua DK PWI Pusat Sasongko Tedjo.

Menurut Paulus, saat ini hampir semua media mempunyai medsos sendiri seperti YouTube, Facebook dan Instagram. “Itu artinya media tersebut mempromosikan medianya juga lewat medsos. Inilah kepercayaan Medsos lebih tinggi dari pers,” jelasnya.

Ia mengambil contoh TV Al-Jazeera dia bergerak di empat produk yakni 1. TV nya nonton gratis, 2. Harus bayar nonton misalnya nonton bola, 3. Juga main di platform baru seperti netflix dan 4. Platform plus – platform di medsosnya (FB, IG maupun YouTube).

Medsos yang induknya langsung media, maka kalau ada berita yang ‘menyalah’ maka pimpinan media itu harus bertanggung jawab.

Oleh karena itu, Paulus minta wartawan tidak boleh sembarangan membuat berita dan mengutip berita. Kalau berita itu ternyata salah baik yang dimuat di medianya maupun medsosnya, yang tanggung jawab tetap si pengutip berita dan pimpinan media tersebut.
Dari sisi ini, pengaduan bisa ditujukan ke Dewan Pers.

Begitu pula media yang punya Podcast, jelas merupakan perpajangan langsung medianya.
Kalau ada masalah di Podcast itu yang bertanggung jawab Pemrednya.

Sebaliknya, jika wartawan media itu, ternyata membuat medsos sendiri dan jika ada kesalahan maka wartawan itu yang harus bertanggung jawab. Kebetulan wartawan itu sebagai konten kreator di medsosnya sendiri.
Meskipun dia wartawan dan anggota PWI, namun posisinya di medsos hanya konten kreator.

“Masalahnya, pengaduan kesalahan itu tidak bisa dialamatkan ke Dewan Pers,” terang Paulus.

Tahun 2012, katanya, ada kasus korupsi yang melibatkan presenter, muat di Kompas. Di berita itu, Kompas tak menyebut nama presenter tersebut. Namun presenter itu melaporkan ke Dewan Pers karena dirinya merasa terganggu. Ternyata wartawan Kompas yang buat berita itu buat kicauannya di Medsos yakni di Twitter.

“Jadi wartawan harus hati -hati dengan Medsos,” tegasnya.

Paulus menyebut tiap tahun Dewan Pers menerima pengaduan sampai 700-an masalah pers, 95-98 persen terkait media online. Sisanya media cetak, radio dan tv. Media online kasusnya macam -macam.

Jumlah media di Indonesia sekarang berkisar 50.000, kalau ada 5 wartawan tiap media maka jumlah wartawan mencapai 250.000 orang. Wartawan yang sudah sertifikasi baru 25.593 orang. “Masih banyak yang belum sertifikasi,” katanya.

Pj Gubernur Sumut diwakili Asisten Administrasi Umum Setdaprovsu Ir Lis Andayani Siregar mengatakan wartawan merupakan warga terdepan dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat

Ia berharap wartawan tidak membuat informasi hoax atau berita propaganda yang berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa ini.

Karena itu, Pj Gubernur Sumut mengajak media untuk meningkatkan indeks kemerdekaan pers (IKP) Sumatera Utara berdasarkan supremasi hukum karena Sumut saat ini berada pada urutan 28 dari 33 provinsi.

Ketua PWI Sumut H Farianda Putra Sinik, SE mengatakan, etika pers sangat penting bagi wartawan dan harus ditaati dan dilaksanakan. Karena itu PWI Sumut terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan, wawasan dan etika profesi wartawan termasuk terkait kode etik jurnalistik melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW).

“Sehebat apapun wartawan jika tidak beretika, tidak ada gunanya. Untuk itu, PWI selalu menanamkan kepada wartawan bahwa etika profesi jurnalis sangat penting. Etika itu mahkota bagi profesi wartawan harus dilakukan,” tambahnya. (wie)

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *