Pencabutan Subsidi Migor Curah, Respon Pasar Wait and See

  • Bagikan

MEDAN (Berita): Masalah ketersediaan dan harga minyak goreng (Migor) masih belum juga tuntas, baru-baru ini pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan baru dengan mencabut kebijakan subsidi minyak curah dan mengeluarkan Permendag 33/2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Curah Rakyat.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Kantor Wilayah I KPPU Ridho Pamungkas, Selasa (7/6/2022) menjelaskan bahwa terkait dengan pencabutan subsidi minyak goreng curah dan dikembalikan mekanismenya dengan tata kelola domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO),  pihaknya akan melihat bagaimana perilaku pelaku usaha dalam merespon kebijakan tersebut.

Dalam kebijakan DMO DPO jilid pertama, adanya disparitas harga dan lemahnya pengawasan menyebabkan terjadinya penyelewenangan, dimana sampai saat ini Kejaksaan Agung masih melakukan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya.

Yang menjadi persoalan bagi publik adalah hasil evaluasi dari pemerintah terhadap kebijakan yang cenderung berubah-ubah tersebut tidak disampaikan kepada publik. Sehingga respon pasar terhadap setiap kebijakan cenderung wait and see.

“Namun belajar dari kasus sebelumnya, Kami yakin tata kelola DMO DPO jilid dua akan jauh lebih baik. Bagi KPPU, jika terjadi penyelewengan lagi maka hal ini memperkuat sinyal dugaan kartel dan KPPU harus lebih intensif untuk melakukan pengawasan,” tambahnya.

Dari pantauan yang dilakukan oleh KPPU Kanwil I, harga minyak goreng curah masih di angka rata-rata Rp16.400 per kg atau sedikit di atas HET dan tidak ada gangguan terkait persediaan.

Untuk harga masih stabil dan belum beranjak turun dan tidak ada gangguan terkait pasokan minyak curah.

Yang menjadi potensi permasalahan nantinya adalah adanya pembatasan pembelian maksimal 2 kilogram (kg) per konsumen dan harus menunjukan NIK atau KTP. “Hal ini dapat mempersulit penjualan di lapangan,”  ujar Ridho.

Selanjutnya terkait dengan penetapan Pelaku Usaha Jasa Logistik dan Eceran (PUJLE) yang harus memiliki aplikasi digital dan terverifikasi, Ridho mengingatkan agar hal tersebut jangan sampai mempersulit pedagang kecil dan tradisional untuk dapat menjual atau menyalurkan minyak goreng curah.

Peralihan sebagian konsumen dari minyak goreng kemasan ke minyak goreng curah semestinya dapat dinikmati juga oleh pedagang tradisional, namun jika persyaratannya terlalu rumit, akhirnya yang dapat menyalurkan justru pedagang besar, ritel modern atau BUMN yang ditugaskan.

KPPU sendiri terus mendorong pemerintah untuk memperbaiki struktur pasar dalam industri minyak goreng mulai dari hulu. Sebagaimana diketahui, berdasarkan dari data BPS dan Kementerian Pertanian Tahun 2019 yang diolah, dapat dilihat ketimpangan penguasaan lahan perkebunan sawit diantara pelaku usaha perkebunan.

Jumlah pekebun rakyat mencapai 99,92 persen dari total pelaku usaha perkebunan sawit, tetapi hanya menguasai 41,35 persen lahan.

Sementara jumlah Perusahaan Perkebunan Swasta hanya 0,07 persen dari total pelaku usaha perkebunan sawit, tetapi menguasai lahan seluas 54,42 persen.

Angka ini masih di atas jumlah Perusahaan Perkebunan Negara yang berjumlah 0,01% dari total pelaku usaha perkebunan sa wit, dengan penguasaan lahan sebesar 4,23 persen.

Ridho juga menyambut baik rencana pemerintah  dalam Piloting (uji coba) pembangunan pabrik minyak goreng sawit di Kabupaten Rokan Hulu Riau yang didirikan oleh asosiasi petani sawit yang tergabung dalam koperasi.

Rencana ini sejalan dengan saran KPPU untuk memperbaiki struktur industri minyak goreng. Dengan munculnya banyak pabrik minyak goreng skala kecil dengan berbasis koperasi petani, hal ini akan mendorong terciptanya harga minyak goreng yang lebih kompetitif.

“Untuk itu, pemerintah juga harus memastikan pasokan CPO untuk pabrik kecil yang berbasis koperasi tersebut,” pungkasnya. (rel/wie)

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *