JAKARTA (Berita): Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan 27 Terlapor dalam perkara Migor tidak terbukti melanggar pasal 5 (terkait penetapan harga),
namun tujuh Terlapor lainnya secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar Pasal 19 huruf c (terkait pembatasan peredaran/penjualan barang) dan didenda total Rp71,280 miliar.
Siaran pers yang dilansir Kepala Kanwil I KPPU Ridho Pamungkas Sabtu (27/5/2023) menyebut KPPU membacakan putusan
atas Perkara Nomor 15/KPPU-I/2022 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 Huruf c dalam Penjualan Minyak Goreng (Migor) Kemasan di Indonesia tanggal 26 Mei 2023 di Kantor Pusat KPPU Jakarta.
Dalam Putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa ke-27 Terlapor dalam perkara tidak terbukti melanggar pasal 5 (terkait penetapan harga). Namun Majelis Komisi memutuskan bahwa tujuh Terlapor, yakni Terlapor I, Terlapor II, Terlapor V, Terlapor XVIII, Terlapor XX, Terlapor XXIII dan Terlapor XXIV secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar Pasal 19 huruf c (terkait pembatasan peredaran/penjualan barang).
Atas pelanggaran di atas, KPPU menjatuhkan besaran sanksi denda yang beragam kepada tujuh Terlapor tersebut,
dengan total denda mencapai Rp71,280 miliar.
Sebagai informasi, kasus ini merupakan insiatif KPPU yang berkaitan dengan dugaan
pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 oleh para Terlapor pada periode bulan Oktober 2021 sampai dengan bulan Desember 2021, dan periode bulan Maret 2022 sampai dengan
bulan Mei 2022.
Para Terlapor juga diduga melakukan pelanggaran Pasal 19 huruf c UU
Nomor 5 Tahun 1999 pada periode bulan Januari 2022 sampai dengan bulan Mei 2022 dalam penjualan minyak goreng kemasan di Indonesia. Kasus bergulir hingga proses Pemeriksaan oleh Majelis Komisi.
Pemeriksaan Pendahuluan atas perkara ini dilakukan Majelis Komisi sejak tanggal 20 Oktober 2022 dan dilanjutkan dengan Pemeriksaan Lanjutan sejak tanggal
25 November 2022, serta perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan hingga tanggal 4 April 2023.
Temuan Persidangan
Dalam Putusannya, Majelis Komisi menjelaskan bahwa pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah penjualan minyak goreng kemasan dengan bahan baku kelapa sawit di seluruh wilayah Indonesia. Struktur pasar dalam industri minyak goreng disimpulkan sebagai oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar tinggi (yakni dengan konsentrasi rasio empat grup pelaku usaha sebesar 71,52 persen), memiliki produk yang homogen dan berbagai hambatan masuk pasar.
Ini mempengaruhi perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar termasuk potensi
terjadinya penetapan harga minyak goreng yang diduga dilakukan oleh para Terlapor.
Dalam persidangan, Majelis Komisi menemukan bahwa berdasarkan rasio input dan output di sektor tersebut, pada periode pelanggaran lebih besar daripada rasio sebelum periode pelanggaran.
Ini menunjukan bahwa kenaikan harga pada periode pelanggaran terjadi akibat adanya kenaikan harga input, sehingga margin keuntungan yang diperoleh menjadi
semakin kecil. “Dengan demikian para Terlapor dapat disimpulkan tidak melakukan penetapan harga untuk minyak goreng kemasan sederhana dan kemasan,” ungkapnya.
Majelis Komisi juga menemukan bahwa para Terlapor tidak patuh kepada kebijakan
pemerintah terkait dengan harga eceran tertinggi (HET), yakni dengan melakukan penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan selama periode pelanggaran.
Tindakan tersebut dilakukan secara sengaja untuk mempengaruhi kebijakan HET. Faktanya, pada saat kebijakan HET dicabut, serta merta pasokan minyak goreng kemasan kembali tersedia di pasar dengan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum terbitnya kebijakan HET.
Ketidakpatuhan ini menimbulkan kelangkaan minyak goreng yang berakibat pada penurunan kesejahteraan (deadweight loss) masyarakat. Perilaku penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan pada periode pelanggaran. Meskipun bahan baku tersedia ini, merupakan perilaku pelaku usaha yang tidak jujur dan menghambat persaingan usaha dalam melakukan kegiatan produksi dan/atau pemasaran minyak goreng kemasan.
Sehingga Majelis Komisi menyimpulkan telah terjadi dampak pelanggaran Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.
Berdasarkan hasil persidangan, Majelis Komisi memutuskan beberapa hal berikut:
menghukum Terlapor I PT Asianagro Agungjaya membayar denda sejumlah
Rp1 miliar l, Terlapor II PT Batara Elok Semesta Terpadu membayar denda sejumlah
Rp15,246 miliar, Terlapor V PT Incasi Raya membayar denda sejumlah Rp1 miliar, Terlapor XVIII PT Salim Ivomas Pratama, Tbk membayar denda Rp40,887 miliar, Terlapor XX PT Budi Nabati Perkasa membayar denda sejumlah Rp1,764 miliar, Terlapor XXIII PT Multimas Nabati Asahan membayar denda
Rp8,018 miliar dan Terlapor XXIV PT Sinar Alam Permai membayar denda sejumlah
Rp3,365 miliar.
KPPU memerintahkan Terlapor I, Terlapor II, Terlapor V, Terlapor XVIII, Terlapor XX, Terlapor XXIII, dan Terlapor XXIV untuk melakukan pembayaran denda paling lama 30 hari sejak Putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) serta melaporkan dan menyerahkan salinan bukti pembayaran denda tersebut ke KPPU.
Terlapor juga diperintahkan untuk membayar denda keterlambatan sebesar 2 persen per bulan dari nilai denda, jika terlambat melakukan pembayaran denda. Jika mengajukan keberatan, maka ketujuh Terlapor harus menyerahkan jaminan bank sebesar 20 persen dari nilai denda ke KPPU paling lama 14 hari setelah menerima pemberitahuan Putusan.Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Dalam proses penyusunan Putusan, salah satu Anggota Majelis Komisi, yakni Ukay
Karyadi, S.E., M.E., memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion) yang pada intinya menyatakan bahwa seluruh Terlapor patut dinyatakan melanggar pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. (wie)