PANYABUNGAN (Berita): Sejumlah hal mengejutkan disampaikan PT Rendi Permata Raya (RPR). Berkisah secara rinci, sebagian malah secara blak-blakan.
Dikatakan, dari 3.734 hektar HGU-nya, baru lebih kurang 1.000 hektar, dan membangun terakhir ini mencapai 2.984 hektar.
Eko Ansari, selaku Manager PT RPR bagian Administratur, memenuhi undangan DPRD Madina di ruang kerja Ketua DPRD, Jumat (31/3), dihadiri sejumlah wartawan.
Eko mengaku baru setahun sebulan bergabung di perusahaan perkebunan kelapa sawit ini. Sebelumnya, Eko menyebut dia bekerja di PT London Sumatera (Lonsum).
Selain itu, dia pernah bekerja di perkebunan wilayah Sumatera Utara, Sumatera Selatan hingga ke Kalimantan.
Sejak awal bergabung dengan PT RPR, Eko Ansari mengatakan sudah mengantongi permasalahan tuntutan plasma, namun pada saat itu terkendala pada masalah Covid-19.
Selain masalah tuntutan plasma, dia juga menerangkan masalah lain juga sudah dia ketahui soal terjadinya dualisme kepengurusan KUD di Singkuang, Kec. Muara Batang Gadis.
“Pada 15 Agustus sesuai arahan bupati, diadakan semacam referendum, namun sebelum itu saya sudah mempelajari KUD yang dua ini dan akhirnya yang menang adalah KUD Hasil Sawit Bersama (HSB),” katanya
Secara blak-blakan, Eko Ansari menerangkan, beberapa waktu lalu dia sudah berjumpa dengan owner PT RPR di Kota Medan. Pada saat itu Eko mengaku menjelaskan kepada owner aturan kewajiban 20 persen dari luas HGU itu harus ditunaikan.
“Waktu itu saya bilang kepada owner, ini pak, kita, saya bawa undang-undang perkebunan 2021. Yang lama-lama juga saya bawa tapi tetap di sini mulai 2007 menyatakan 20 persen dari HGU,” jelasnya.
Eko Ansari bercerita panjang soal permasalahan lahan plasma dengan masyarakat. Dia menyebut terus berupaya menggiring aturan itu berjalan sesuai fakta.
“Saya giring dia (owner, red) bahwa itu aturan, di mana dan bagaimana pun kita harus menjalankan aturan. Bukan saya membela masyarakat, tapi ini aturan pak, itu yang saya bilang. Akhirnya, owner bersetuju, dan saya sudah bawa peta kalau tuntutan itu di dalam HGU, alternatif-alternatifnya saya sudah bawa konsep begitu juga dengan konsep di luar HGU,” ungkapnya.
“Akhirnya, beliau setuju 20 persen, nah kalau kita mengambil dari HGU, kebetulan yang ditanam PT RPR yang lama itu baru sedikit. Dari 3.734 hektar HGU-nya itu baru lebih kurang 1.000 hektar. Inilah kami yang membangun terakhir ini sudah mencapai 2.984 hektar,” ujarnya.
Eko kembali menerangkan, sisa lahan di dalam HGU sekitar 700 hektar lebih sudah tidak bisa ditanami karena lokasinya ada danau, ada yang diovukasi masyarakat sekitar 95 hektar dan lahan lainnya seperti gambut dan pengunungan.
Kemudian, lanjut dia, ditambah lokasi yang di daerah bukit barisan lahannya terjal seperti gran kenyon, itu tak bisa ditanami 369 hektar.
“Jadi walaupun tidak ada titik temu, MoU yang kemarin kan gagal, tapi kami tetap beriktikad mengerjakan ini, kami terus jalan bahkan kami sudah ada kontrak dengan pihak kontraktor untuk mengadakan land clearing, bulan April ini sudah jalan,” katanya.
“Saya jelaskan ya, di mana-mana lokasinya persiapan lahan itu setahun lamanya, dan Maret 2025 selesai penanaman. Saya berprinsip saya bekerja di perusahaan itu dengan masyarakat berkembang sesuai dengan aturan,” tutupnya. (irh)