Nasib Warga Singkuang 1 Makin Tak Jelas

  • Bagikan
Massa menunggu berbuka puasa bersama di areal perusahaan.beritasore/Ist

MADINA (Berita): Hari ke-17 aksi massa warga Singkuang 1, Kec. Muara Batang Gadis, Kab. Mandailing Natal di lokasi aksi areal perkebunan, Kamis (6/4) malam, nasib tuntutan warga makin tak jelas.

Ratusan warga Singkuang 1 menuntut hak plasma minimal 20 persen dari areal HGU perusahaan yang dituntut sesuai peraturan di negeri ini setelah 18 tahun, hingga kini belum ada realisasi.

Massa ‘menduduki’ areal PT RPR dan memportal areal perusahaan. Tua-muda, laki-laki dan perempuan, menginap di areal perkebunan kelapa sawit dalam suasana bulan suci Ramadan.

Aktivitas massa di lokasi aksi tetap melaksanakan kegiatan keagamaan dalam kondisi memprihatinkan: berbuka puasa apa adanya, shalat tarawih, tadarusan Al Quran, shalat fardu berjamaah dan sahur apa adanya di lokasi perkebunan.

Nah, setelah 17 hari ‘nginap’ di areal PT RPR, bagaimana dengan prospek realisasi tuntutan warga? Masyarakat sampai kapan di lokasi milik perusahaan ?

“Masih menunggu kepastian Pemkab. Sampai hari ini belum ada konfirmasi dari Pemkab,” ujar Ketua Koperasi Produsen (KP) Himpunan Sawit Bersama (HSB) Singkuang 1 Sapihuddin, SPd.I melalui sambungan telepon seluler, malam tadi.

Sapihuddin akrab disapa Ustadz Buyung Umak menjelaskan, massa terus melakukan aksi di areal perusahaan.

“Pembagian regu untuk berjaga aplusan di lokasi aksi PT RPR. Dibagi enam regu, setiap regu 40 warga atau lebih,” ujar Ustadz Buyung Umak.

Kepada ustadz, waspada.id dan beritasore.co.id mempertanyakan,
sampai kapan kira-kira massa di lokasi?

Melihat suasana sekarang, kira-kira masyarakat sampai kapan aksi massa ? Sampai hari raya ? “Mungkin, kalau tidak ada kepastian Pemkab dan perusahaan,” ujar ustadz.

Bercerita Blak-blakan

Pihak perusahaan diwakili Manager PT Rendi Permata Raya (RPR) Manager PT RPR bagian Administratur, Eko Ansari, bercerita apa adanya, blak-blakan.

Di ruang kerja Ketua DPRD Madina, Jumat (31/3), Eko, mantan dari PT London Sumatera (Lonsum) dan pernah bekerja di perkebunan wilayah Sumatera Utara, Sumatera Selatan hingga Kalimantan, kini baru aktif satu tahun satu bulan di PT RPR.

Sejak awal bergabung dengan PT RPR, Eko Ansari mengatakan sudah mengantongi permasalahan tuntutan plasma, namun pada saat itu terkendala pada masalah COVID-19.

Selain masalah tuntutan plasma, dia juga menerangkan masalah lain juga sudah dia ketahui soal terjadinya dualisme kepengurusan KUD di Singkuang, Kec. Muara Batang Gadis.

“Pada 15 Agustus sesuai arahan bupati, diadakan semacam referendum, namun sebelum itu saya sudah mempelajari KUD yang dua ini dan akhirnya menang adalah KUD Hasil Sawit Bersama (HSB),” katanya

Secara blak-blakan, Eko Ansari menerangkan, beberapa waktu lalu dia sudah berjumpa dengan owner PT RPR di Kota Medan.

Pada saat itu Eko mengaku menjelaskan kepada owner aturan kewajiban 20 persen dari luas HGU itu harus ditunaikan.

“Waktu itu saya bilang kepada owner, ini pak, kita, saya bawa undang-undang perkebunan 2021. Yang lama-lama juga saya bawa tapi tetap di sini mulai 2007 menyatakan 20 persen dari HGU,” jelasnya.

Eko Ansari bercerita panjang soal permasalahan lahan plasma dengan masyarakat. Dia menyebut terus berupaya menggiring aturan itu berjalan sesuai fakta.

“Saya giring dia (owner, red) bahwa itu aturan, di mana dan bagaimana pun kita harus menjalankan aturan.

Bukan saya membela masyarakat, tapi ini aturan pak, itu yang saya bilang. Akhirnya, owner setuju, dan saya sudah bawa peta kalau tuntutan itu di dalam HGU, alternatif-alternatifnya saya sudah bawa konsep begitu juga dengan konsep di luar HGU,” ungkapnya.

“Akhirnya, beliau setuju 20 persen, nah kalau kita mengambil dari HGU, kebetulan yang ditanam PT RPR yang lama itu baru sedikit.

Dari 3.734 hektar HGU-nya itu baru lebih kurang 1.000 hektar. Inilah kami yang membangun terakhir ini sudah mencapai 2.984 hektar,” ujarnya.

Eko kembali menerangkan, sisa lahan di dalam HGU sekitar 700 hektar lebih sudah tidak bisa ditanami karena lokasinya ada danau, ada yang diovukasi masyarakat sekitar 95 hektar dan lahan lainnya seperti gambut dan pengunungan.

Kemudian, lanjut dia, ditambah lokasi yang di daerah bukit barisan lahannya terjal seperti gran kenyon, itu tak bisa ditanami 369 hektar.

“Jadi walaupun tidak ada titik temu, MoU yang kemarin kan gagal, tapi kami tetap beriktikad mengerjakan ini, kami terus jalan bahkan kami sudah ada kontrak dengan pihak kontraktor untuk mengadakan land clearing, bulan April ini sudah jalan,” katanya.

“Saya jelaskan ya, di mana-mana lokasinya persiapan lahan itu setahun lamanya, dan Maret 2025 selesai penanaman. Saya berprinsip saya bekerja di perusahaan itu dengan masyarakat berkembang sesuai dengan aturan,” tutupnya. (irh)

4

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *