Mengenang 28 Tahun H. Mohd. Said

  • Bagikan
H. Mohd. Said
H. Mohd. Said

 

 

Oleh Mehmet Özay

Orisinalitasnya juga terkait dengan konsistensinya terhadap kaliber intelektualnya sendiri. Berbeda dengan aktivis politik lainnya, ia tidak harus menjadi politisi. Ia sangat terikat dengan jurnalisme dan memainkan perannya untuk berkontribusi kepada publik melalui tulisan-tulisannya

Tidak sering menyaksikan jurnalis era kontemporer bertahan beberapa dekade dalam ingatan khalayak ramai, bahkan setelah dia meninggal dunia. Hingga hari ini, legasi H. Mohd. Said, bapak pendiri koran tertua Waspada, masih ada. Ia dikenang bukan hanya karena kontribusinya bagi kebebasan jurnalisme, tetapi juga kaliber intelektualnya yang diakui secara regional dan internasional.

Hari ini adalah peringatan 28 tahun wafatnya H. Mohd. Said. Ia menutup usia 28 tahun yang lalu (26 April 1995) dalam umur sekitar 85 tahun. Ia dikenang sebagai orang yang mendirikan Waspada bersama istrinya Ani Idrus di Sumatera Utara pada periode awal berdirinya Negara Republik Indonesia. Untuk itu saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk merenungi dan mengambil ibrah dari jurnalisme dan kehidupan intelektualnya.

Mohd. Said adalah seorang intelektual yang berfungsi sebagai jembatan untuk menghubungkan masa lalu dan masa kini di Pulau Sumatera dan sebagian Nusantara.

Sejak besar di Sumatera Utara, ia dengan sendirinya menginisiasi karya-karyanya berdasarkan realitas sosial politik di masyarakat di kawasan Sumatra Utara.

Namun, ia juga terpapar ke tingkat nasional melalui keterlibatannya dengan era kolonial dan perjuangan politik untuk emansipasi dari hegemoni kolonial Belanda dan konstruksi sosial-politik pasca kemerdekaan. Semua proses ini, tidak diragukan lagi, berkontribusi padanya untuk menjadi seorang nasionalis sepanjang hidupnya yang tercermin dalam tulisannya di berbagai surat kabar dan terbitan Waspada sendiri yang dianggap sebagai “koran kiblik” yang berarti “suara gerakan Republik” oleh otoritas otoritas kolonial Belanda.

Cara Modern

Surat kabar atau media cetak, sebagaimana dikemukakan oleh Benedict Anderson merupakan suatu mekanisme tertentu untuk memberikan jalan baru menuju masyarakat modern. Masyarakat-masyarakat di Nusantara pada tahun-tahun awal abad ke-19 menjumpai aparatur modern ini melalui berbagai publikasi. Dan selama beberapa dekade di abad yang sama terjadi beberapa kontinuitas penerbitan surat kabar dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Melayu.

Seperti yang diamati yang pertama adalah Pertja Timor pada awal abad ke-20. Setelah beberapa tahun, yaitu 1908 -hampir seratus tahun penyiar surat kabar oleh pihak Thomas Stamford Raffles pertama-, G. A. J. Hazeu mengusulkan pembentukan sebuah komisi pada tahun 1908 yang kemudian disebut Kantoor voor Volkslectuur (Biro Bacaan Populer atau Balai Pustaka) terutama untuk tujuan publikasi dan penyebaran berita.

Di sini tidak dibahas secara detail apa itu ‘modern’. Tetapi secara sederhana mengatakan bahwa modern berarti “kebaruan, sesuatu yang baru, dan hari ini, yaitu sekarang dengan menandakan waktu”.

Dalam penerbitan surat kabar, tidak diragukan lagi bahwa penerbitan itu sendiri merupakan hasil dari konstelasi keahlian, keterampilan, dan kesusastraan tertentu dari beberapa orang yang berdedikasi. Tanpa menyederhanakannya orang dapat berargumen bahwa penyebaran sesuatu melalui tulisan di atas mesin dan meletakkan tulisan di atas kertas, menjual dan mendistribusikannya adalah sebuah penemuan.

Di luar itu, pikiran, semangat, dan perjuangan untuk menuangkan kata-kata ke dalam teks yang bermakna dan mencetaknya dalam potongan-potongan terstruktur dari berita, artikel, dan lain-lain adalah usaha jurnalis, atau investor media. Selain teknis, inilah yang membangun dan mempertahankan publikasi surat kabar.

Latar belakang intelektual Mohd. Said sebagai founding father Waspada perlu diperhatikan secara signifikan. Berkaitan dengan hal ini, ada dua dimensi utama: yang pertama adalah tentang almarhum Mohd. Said kepribadian intelektual; kedua, lingkungan sosial politik yang menjadi penyebab pendiriannya.

Saya ingat di sini salah satu pepatah Johann Gottfried von Herder (1744-1803): “… Manusia, meskipun dirinya adalah anak alam, adalah manusia alam yang dibebaskan”. Dengan memiliki analogi, meskipun orang dapat berargumen bahwa Mohd. Said adalah putra dari realitas sosial-politik pada masanya, ia dibebaskan darinya dan berusaha merestrukturisasi realitas sosial-politik pada masanya. Kekuatan keteruraian Mohd. Said sendiri dari kondisi mapan didasarkan pada pendirian intelektualnya. Yang disebut belakangan ini tampaknya telah memberikan bentuk pemahaman baru tentang peristiwa dan perkembangan yang terjadi selama masa hidupnya.

Tidak diragukan lagi berbagai intelektual, aktor politik dan laiin-lain sebelum dan sesudah tahun-tahun kemerdekaan, dan Mohd. Said berbagi pandangan yang sama dengan beberapa dari mereka. Namun, ia tetap menjadi kontributor mencerdaskan kehidupan masyarakat Indonesia melalui inisiasi Waspada.

Bahkan, ada beberapa inisiasi awal Mohd Said di bidang jurnalistik yang membuktikan bahwa ia memiliki semangat individualisme untuk menyebarkan kebenaran melalui mekanisme publik, yaitu surat kabar. Misalnya, ada dua usaha menonjol yang ia lakukan bersama istrinya Ani Idrus. Yang pertama adalah penerbitan kembali Pewarta Deli di Medan, sebagai kelanjutan dari versi awalnya pada tahun 1910 yang diprakarsai oleh Dja Endar Moeda, yang dikenal sebagai koran pro Republik Indonesia pertama. Koran yang kedua yang dijalankan pasangan intelektual ini adalah Antara News berpusat di Medan pada tahun 1946.

Seseorang menegaskan bahwa inisiasi-inisiasi ini membuatnya dianggap sebagai pelopor dalam jurnalisme, tidak hanya di tingkat daerah tetapi juga di tingkat nasional. Surat kabar ini telah dianggap sebagai aset nasional di bidang sejarah pers karena merupakan surat kabar tertua kedua dan masih diterbitkan.

Menaikkan profesi secara berkelanjutan

Dia mengangkat tangga jurnalisme profesional dari bawah ke atas. Berawal sebagai pekerja lepas dengan mengirimkan tulisan pertamanya ke berbagai surat kabar seperti Soera Indonesia terbitan Surabaya sejak akhir tahun 1927. Dalam perjalanan waktu, ia magang, menjadi reporter Tjin Po, surat kabar harian terbitan Medan, pada tahun 1929 Setelah bekerja sebentar, ia berpindah-pindah ke Oetoesan Sumatera di mana ia bekerja sebagai redaktur (1928-1929), Sinar Deli (1937), Penjebar (1937), Penjedar (1937-1938) dan Seroean Kita (1938-1939) yang diterbitkan atas kerjasama istrinya, Ani Idrus. Sepanjang tahun-tahun mendatang ia menjadi redacteurship dan penulis sebagai kolumnis dan usaha untuk mencetak korannya sendiri.

Pentingnya jurnalismenya didasarkan pada periode tertentu seperti era kolonial – baik Belanda maupun Jepang, konflik daerah, gerakan kemerdekaan, pasca kemerdekaan dan proses pembangunan negara bangsa. Dan selama ini dia mengerti bahwa dia bertindak secara bertanggung jawab dalam profesinya sendiri melalui penyebaran kebenaran yang merupakan nilai terpenting yang secara implisit dia perkenalkan kepada masyarakat. Tak ayal, ia juga menjadi aktor penting dalam proses kemerdekaan dan pasca kemerdekaan yang berperan dalam kelembagaan jurnalisme di Indonesia. Dia melakukan ini baik dengan usahanya sendiri dalam jurnalisme, dan dia juga diundang oleh para pemimpin politik nasional untuk berkontribusi dalam kapasitasnya sendiri di bidang ini.

Orisinalitasnya juga terkait dengan konsistensinya terhadap kaliber intelektualnya sendiri. Berbeda dengan aktivis politik lainnya ia tidak harus menjadi politisi. Ia sangat terikat dengan jurnalisme dan memainkan perannya untuk berkontribusi kepada publik melalui tulisan-tulisannya. Dalam hal ini, bisa ditebak bahwa orientasi intelektualnya adalah untuk menjangkau masyarakat luas dalam jurnalisme yang adil -yang tampaknya menjadi norma baginya- dengan menonjolkan peristiwa dan tokoh sejarah.

Tidak diragukan lagi bahwa jurnalisme generasi baru semakin berkembang dan berubah baik dari segi teknis. Dan pendidikan juga berkontribusi pada profesionalitas bidang ini. Tapi masih ada beberapa area yang harus kita pelajari dari sikap intelektual dan profesional Mohd. Said.

Penulis adalah Profesor Madya Di Institut Internasional Pemikiran dan Peradaban Islam (ISTAC), Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM).

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *