Konflik Agraria, Dari Izin Lokasi Sampai Pengukuran Ulang

  • Bagikan
Aflan Q. Nasution, tokoh masyarakat Pantai Barat Madina, mantan Wakil Ketua DPRD Madina. beritasore/Ist

MADINA (Berita): Konflik agraria melibatkan masyarakat Madina, termasuk warga Pantai Barat dengan sejumlah perusahaan raksasa, berpangkal dari banyak sebab.

“Termasuk persoalan izin lokasi dan penuntasan masalah dengan cara pengukuran ulang,” ujar tokoh Pantai Barat asal Batahan Aflan Q. Nasution kepada beritasore.co.id melalui sambungan telepon seluler, Minggu (16/4) malam.

Mantan Wakil Ketua DPRD Madina ini mengungkapkan, kondisi dialami masyarakat dengan perusahaan hampir-hampir serupa, tapi tak sama, “perusahaan punya masalah dengan masyarakat.”

Aflan mengungkapkan, masalah ini menyebar termasuk Sinunukan Kec. Muara Batang Gadis, Natal dan Kec. Batahan.

“Menurut saya, ini, karena kelalaian pemerintah sebelumnya memberi izin lokasi. Sehingga di jaman yang berkemajuan ini timbul masalah,” katanya.

Dia kemudian menyebut nama perusahaan raksasa lainnya, masuk ke Madina sejak zaman Tapsel, sekira 1998, direkomendasi membuka lahan inti plasma Sinunukan 1, 2, 3 dan 4.

“Sekira 12.500 ha dengan pembagian kebun inti kurang dari 2.500 ha (inclub fasilitas jalan, dll) dan kebun plasma 10.000 ha,” ujarnya.

Aflan mengungkapkan, di satu titik di Kec. Batahan, Kec. Linggabayu, Kec. Natal dan Kec. Muara Batang Gadis, disinyalir tidak dibekali izin lokasi.

Dua titik di Kec. Batahan, dia mencontohkan
kemitraan perkebunan raksasa dengan Koperasi Sawit Murni yang membuka lahan 2.210 ha terdiri dari lahan Sinunukan-6 mencakup 607,5 ha dan lahan masyarakat Batahan dan Kubangan Tompek 1.602,5 ha itu, disinyalir dibuka tanpa persetujuan Pemkab Madina.

Aflan kembali menyebut satu perkebunan sangat besar, dia nilai rancu.

“Masalah lahan timpang-tundih dengan lahan eks-tranmigrasi disebut warga memiliki sertifikat,” katanya.

Kalaulah ini benar adanya, kata dia, sementara perusahaan ini sudah mengganti rugi kepada masyarakat yang menguasai saat itu (yang bukan namanya tercantum dalam sertifikat).

“Untuk hal ini, tentu harus melibatkan banyak pihak dan kesimpulan tentu di tangan Menteri BUMN,” katanya

Sedangkan perusahaan masuk ke Madina sejak zaman Tapsel, sekira 1998, ini, menurut Aflan, cukup melakukan pengukuran ulang atas lahan yang dikuasai perkebunan raksasa itu. (irh)

Berikan Komentar
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *